Danlanud Sultan Hasanuddin: Semangat Berkurban Merupakan Wujud Ketaatan dan Kepedulian Kepada Sesama
Written By Nusantara Bicara on 6 Jun 2025 | Juni 06, 2025
Sufmi Dasco Tanggapi Surat Dubes Arab untuk Indonesia untuk Ketua DPR RI
Dasco Temui Megawati, Bahlil: Nabi Ibrahim Mengajarkan Silaturahmi
Capt. Hakeng: Raja Ampat Adalah Warisan Dunia, Bukan Objek Bisnis Capt. Hakeng: Raja Ampat Adalah Warisan Dunia, Bukan Objek Bisnis
Jakarta, nusantara Bicara -- Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya,kembali menjadi sorotan nasional setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi menghentikan sementara aktivitas tambang nikel PT Gag Nikel, pada 5 Juni 2025. Kebijakan ini menandai respons negara terhadap meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan dunia akademik yang khawatir atas kerusakan ekologis di salah satu kawasan paling ikonik dan biodiversitas di dunia.
Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik yang juga seorang pengamat maritim di Indonesia, DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar., menilai langkah Menteri ESDM tersebut sebagai titik balik penting dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. “Ini bukan semata-mata keputusan administratif, tetapi refleksi dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup. Harapan saya keputusan yang diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total,” ujar DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., di Jakarta (06/06/2025).
Pengamat maritim yang dikenal kritis ini juga menambahkan, bahwa keputusan tersebut merupakan sinyal bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah dengan nilai ekologis tinggi. Menurut Capt. Marcellus Hakeng, keberadaan Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar.
“Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global,” jelas Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa. Ditekankan pula olehnya bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran.
Namun realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan, jelaslah ini menimbulkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia terutama dalam hal penegakan hukum lingkungan. Berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, sedimentasi yang mengalir ke laut telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. “Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” tegas Capt. Haken
Di sisi lain, PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha dari PT Antam Tbk—perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)—mengklaim bahwa operasional mereka telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun bagi Capt. Marcellus Hakeng, status perusahaan sebagai BUMN tidak menjadi pembenaran untuk menoleransi pelanggaran prinsip ekologis. “Justru karena BUMN adalah wajah negara, maka seharusnya mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar,” katanya.
Ia menambahkan bahwa penghentian ini adalah ujian terhadap komitmen pemerintah dalam membangun paradigma ekonomi yang tidak merusak tatanan ekologis. Maka dalam kerangka ini, prinsip free, prior and informed consent (FPIC) menjadi hal mendasar. “Jangan sampai masyarakat adat hanya dijadikan objek. Mereka harus menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan karena merekalah yang paling terdampak,” ujar Capt. Hakeng.
Capt. Hakeng juga menilai bahwa FPIC adalah bagian dari hak asasi masyarakat adat yang telah diakui dalam berbagai konvensi internasional. Salah satu persoalan besar dalam kasus ini adalah lemahnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menekankan pentingnya transparansi dalam proses AMDAL dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
“Tanpa keterlibatan publik dan pengawasan independen, AMDAL hanya menjadi formalitas. Padahal di situlah letak tanggung jawab sosial dan ekologis dari setiap proyek,” tegasnya. Ia menyarankan agar semua dokumen perizinan tersebut dibuka ke publik dan dievaluasi ulang secara ilmiah.
Selain itu, Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa juga menyoroti minimnya partisipasi lembaga akademik dan ilmiah dalam proses penilaian risiko lingkungan dari proyek-proyek besar seperti tambang nikel di pulau kecil. Dari itu ia menyarankan pemerintah untuk membentuk panel ahli independen yang terdiri dari ilmuwan lingkungan, ahli hukum, dan perwakilan masyarakat adat dalam mengevaluasi proyek-proyek tambang. “Keputusan strategis tidak bisa hanya didasarkan pada laporan perusahaan. Harus ada validasi independen dari kalangan akademik dan masyarakat sipil,” tegasnya
Kasus tambang nikel di Raja Ampat menurut Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa juga menjadi refleksi terhadap krisis tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Ketidaktegasan dalam menegakkan hukum lingkungan, tumpang tindih perizinan, dan lemahnya pengawasan adalah akar dari permasalahan yang terus berulang. “Raja Ampat bukan kasus pertama dan mungkin bukan yang terakhir jika tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan,” tegas Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Bersamaan pula Capt. Hakeng mendesak pemerintah untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dalam membangun kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial. “Jangan tunggu sampai dunia internasional menghukum kita dengan pencabutan status geopark atau sanksi perdagangan karena tidak menjaga lingkungan. Kita harus menjadi bangsa yang bertanggung jawab terhadap bumi dan generasi masa depan,” imbuhnya.(Agus)