Innalillahi wainnaillaihi rajiun. Duka cita yang
mendalam sebagai seorang abang alumni atas berpulangnya adik siswa
Kresna Wahyu di kampus biru SMA Taruna Nusantara. Semoga almarhum di
usia yang demikian muda wafat dengan husnul khatimah, dan keluarga yang
ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran. Tak terperi pasti
pedihnya sang ibu ditinggalkan seorang putra, tak terperi juga pedihnya
ibu pertiwi kehilangan seorang tunas mudanya.
Namun
duka cita yang juga mendalam juga disematkan kepada SMA Taruna
Nusantara. Almamater kebanggaan yang melepasku hampir 22 tahun yang
lalu, yang hari ini menjadi buah bibir masyarakat karena sebuah alasan
yang sangat berbeda dibanding biasanya. Bukan karena prestasi
sekolahnya, atau karena kebanggaan akan alumninya, atau kunjungan
seorang Presiden dan pejabat negara lainnya. Tapi karena sebuah tindakan
yang paling mengerikan oleh seorang umat manusia: pembunuhan.
Ini Pembunuhan, bukan Kekerasan dalam Hidup Berasrama!
Perlu
ditekankan sekali lagi bahwa yang terjadi dini hari tadi adalah sebuah
pembunuhan, dan bukan sebuah kekerasan hasil bullying (perundungan)
sebagai ekses dari sebuah kehidupan berasrama. Pembunuhan yang bisa
terjadi di mana saja, tidak harus dan tidak hanya dalam kehidupan
berasrama. Bukan kehidupan berasramanya yang salah, atau sistem
pendidikannya yang menghasilkan si pembunuh. Kehidupan berasrama pun
tidak selayaknya menghasilkan perundungan, melainkan kedekatan dan
kebanggaan bersama yang bisa berkembang menjadi sebuah perasaan
persaudaraan.
Namun
demikian, bahwa sebuah pembunuhan demikian keji bisa terjadi dalam
kehidupan berasrama yang ketat terawasi selama 24 jam, tentunya
merupakan tamparan bagi segenap keluarga besar SMA Taruna Nusantara.
Para siswa tidur di dalam barak -kami menyebutnya Graha- yang isinya
paling tidak 30-an orang danhanya dibatasi dengan lemari dan meja
belajar satu sama lain. Demikian rapat dan lekat. Para Pamong -panggilan
khas kami untuk para guru- Pengajar Pengasuh juga tinggal di kompleks
perumahan dalam lingkungan yang sama dan setiap saat standby untuk
membimbing siswa. Bahkan, ada pula namanya Pamong Graha, yang kebanyakan
adalah para purnawirawan tentara, yang siap sedia memantau secara
berkala kehidupan berasrama para siswa.
Tentunya
menjadi pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan tatanan kehidupan
berasrama yang penuh asah, asih dan asuh sekarang? Bagaimanakah
suasananya sehingga memungkinkan bagi munculnya sebuah pikiran jahat
dan bahkan, mengeksekusinya bak profesional dengan darah dingin? Dengan
segala hormat kepada para Pamong yang telah ikut membesarkan dan
mendidik saya, ini saatnya kita mengecam keras dan mengevaluasi tuntas
atas kesalahan sistemik apa yang secara mendasar sedang dialami oleh SMA
Taruna Nusantara. Tak boleh lagi ada pihak yang bisa mengelak, bahwa
kondisi SMA ini menurun drastis hingga -mudah-mudahan dengan demikian-
ada pada titik nadirnya. Karena titik nadirlah momentum untuk berbalik
arah kembali ke atas dan bukannya terus terjerembab dalam kehancuran.
Pentingnya Input - Proses - Output dan Intervensi yang Merusaknya!
Tak
perlu dijelaskan bahwa untuk sebuah sistem berjalan ada input - proses
dan output. Dalam SMA TN, satu hal yang menjadi kekuatannya di masa lalu
adalah INPUT yang bagus. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, lewat
sebuah seleksi dengan jenjang berlapis di seluruh provinsi, SMATN bisa
mendapatkan input yang sebaik-baiknya dari seluruh nusantara. Hal ini
terjadi terutama dengan dukungan dua hal.
Pertama,
ketiadaan atau paling tidak minimnya intervensi terhadap mekanisme
seleksi yang ada. Para founding father SMA TN dulu sungguh bijak untuk
tidak berbondong-bondong menitipkan kepentingan pribadi atau keluarga
atau koleganya untuk menikmati pendidikan di sana.
Kedua,
yang tak kalah pentingnya, tiadanya sekat biaya bagi anak bangsa dari
lapisan mana pun untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Dari anak
petani dan tukang becak, hingga anak jendral atau cucu wakil presiden,
dahulu semua bisa menikmati pendidikan ini dengan perlakuan sama.
Angkatan
pertama di tahun 1990 hingga angkatan yang lulus di tahun 2004 adalah
angkatan "TN Gratis". Tanpa bermaksud mendikotomikan antara angkatan "TN
Gratis" dan "TN Bayar", tak pelak bahwa pada periode itulah mulai
terjadi perubahan drastis pada SMA ini. "TN Bayar" tentu banyak yang
baik dan berhasil. "TN Gratis" pun tak sepenuhnya semua sukses dan baik.
Namun pada titik itulah mulai terjadi perbedaan pada proses mendapatkan
INPUT bagi proses pendidikan tersebut. Apalagi ketika tangan yang
mewakili kepentingan sebagian orang tua yang berkuasa dan mampu
membayar, sedikit banyak ikut mengintervensi bukan hanya input namun
juga prosesnya.
Di
situlah -dan hingga di hari ini- kita mulai mendengar, adanya gank-gank,
pengelompokan-pengelompokan, di antara anak-anak yang inputnya berbeda
tadi. Genk anak gaul, genk anak jendral, genk anak polisi, genk anak
Jakarta, dan lain-lain yang ternyata menghasilkan solidaritas parsial
berdasarkan ikatan yang bukan lagi kebangsaan dan kenusantaraan, tapi
kotak-kotak asal dan kelas sosial.
Distorsi
input ini jugalah yang sangat mungkin mengakibatkan lolosnya calon
siswa yang bisa terbersit dalam benaknya di usia 15 tahun, untuk
bertindak demikian keji. Saya ingat betul, adanya mekanisme seleksi
hingga test psikologi yang bisa mendeteksi potensi kejiwaan yang
membahayakan semacam ini di seleksi masuk SMA Taruna Nusantara. Patut
diduga, intervensi atas mekanisme mendapatkan input calon siswa yang
telah mengakibatkan hal ini.
Hentikan Tangan Oknum Lembaga dan Yayasan, Sadarkan Para Orangtua untuk Tak Merusak Masa Depan!
Sembari
segala upaya difokuskan untuk menyelidiki kasus ini oleh polisi dan
menegakkan hukum pidana yang berlaku sesuai ketentuan, kejadian ini
harus menjadi momentum untuk membongkar semua kebobrokan yang terjadi
dalam pengelolaan SMA TN. Bukan hanya bendera setengah tiang kita
kibarkan di depan Balairung Pancasila. Namun bendera hitam perlu kita
selimutkan di atas kampus biru SMA Taruna Nusantara. Lakukan moratorium
penerimaan dan merombak sepenuhnya pengelolaan dan kendali atas SMA ini.
Lembaga dan Yayasan yang selama ini menjadi tempat masuknya distorsi
dan intervensi, agar dibekukan dan pengelolaan diambil alih oleh
Pemerintah. Alumni agar dilibatkan untuk mendidik, membersihkan dan
mengendalikan sebagai bentuk tanggung jawab dan balas budinya terhadap
kampus yang telah membesarkan mereka.
Wahai
para orang tua yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan berkualitas,
sadarlah bahwa pendidikan ini justru menjadi baik karena ketiadaan
campur tangan Anda dalam input maupun prosesnya. Biarkanlah sistem
asah-asih-asuh yang ada di dalamnya melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
Hindarkan perilaku transaksional dengan oknum dalam sistem, demi
memberikan keistimewaan atau kemudahan bagi anak kita, seberapa pun
besarnya rasa sayang kita kepadanya.
Pada
akhirnya, saya mengingat pesan yang disampaikan kepada beberapa alumni
SMA TN di saat menghadap seorang tokoh nasional di medio 2013. Pesan itu
berupa pertanyaan, "Kalau kita punya sebuah mobil baru yang mengkilat
dan kita banggakan, kapankah pertanda mulai lunturnya kebanggaan kita
itu? Jawabannya adalah ketika mulai muncul noda atau goresan pertama,
akibat kita tak awas dalam menjaganya".
Dan untuk
mengembalikan kebanggaan itu, butuh upaya sangat keras untuk
menghilangkan goresan tersebut agar semuanya kembali seperti sedia kala.
Sangat keras, sehingga mungkin lebih berat dibandingkan mendapatkan
yang baru.
Menjadi
tantangan besar bagi SMA Taruna Nusantara, akankah noda goresan ini bisa
dihilangkan dan mengembalikan kondisinya seperti sedia kala.
Penulis: AGW920704
Alumni SMA Taruna Nusantara
Tunduk kepala untuk adik Kresna
Posting Komentar