www.nusantarabicara.co

www.nusantarabicara.co
Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Home » , , » Tanggapan Kapendam XVII/Cenderawasih, Terkait Tudingan kepada TNI-POLRI

Tanggapan Kapendam XVII/Cenderawasih, Terkait Tudingan kepada TNI-POLRI

Written By Nusantara Bicara on 19 Mar 2018 | Maret 19, 2018

Nubic. Papua – Kapendam (Kepala Penerangan Kodam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi dalam siaran persnya hari Minggu (18/3/2018) malam, menanggapi tulisan Elly Tipagau yang menyebut dirinya Intelektual Intan Jaya di media online https://papua.kabardaerah.com/2018/03/17/tni-polri-menjadi-fasilitator-perang-suku-di-papua/ dengan judul TNI-Polri menjadi fasilitator perang suku di Papua.

Berikut Siaran Pers tanggapan dari Kapendam (Kepala Penerangan Kodam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi seperti yang tertuang dalam website http://www.kodam17cenderawasih-tniad.mil.id/  : 

Dari rumusan persoalan yang diuraikan oleh Saudara Elly Tipagau yang hanya memandang persoalan dari satu sudut pandang yang sangat dangkal dan cenderung berusaha menggiring opini pembaca ke arah negatif dengan melemparkan kesalahan kepada aparat keamanan TNI-Polri dan sama sekali tidak ada upaya menggali dan mengkaji persoalan dari akar masalahnya, terlihat bahwa tulisan ini sama sekali tidak memenuhi unsur intelektual.

Saudara Elly Tipagau hanya melihat persoalan perang suku di Papua pada akhir kejadiannya dan lebih fokus hanya melihat sisi negatif kehadiran TNI-Polri di akhir kejadian tersebut dan cenderung memutar balikkan fakta untuk mendiskreditkan TNI-Polri.

Tanpa mau tahu atau pura-pura tidak tahu bagaimana proses terjadinya perang suku, apa pemicunya? siapa provokatornya? Bagaimana peranan kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh pemuda, kaum intelektual, pemerintah daerah dan lain-lain dalam mencegah terjadinya perang suku atau sebaliknya justru mereka itulah yang menjadi objek, alasan, penyebab dan provokator terjadinya perang suku di Papua.

Saudara Elly Tipagau menyatakan dalam tulisannya bahwa perang suku yang terjadi di Bumi Cenderawasi Papua karena difasilitasi oleh TNI-Polri sebagai lahan bisnis. Ini adalah tuduhan yang sangat tidak mendasar dan mengandung unsur fitnah apalagi bila disebutkan bahwa TNI-Polri berbisnis dengan darah dan nyawa rakyatnya sendiri.

Faktanya bahwa perang suku telah mewarnai kehidupan masyarakat Papua sejak dahulu kala, hanya karena persoalan sepele yang sebenarnya dapat diselesaikan secara baik-baik dengan musyawarah tanpa harus menjatuhkan korban.

Penyebab perang suku umumnya karena Miras yang memicu perkelahian yang kebetulan beda suku, asusila melibatkan antar suku berbeda, laka lalin menyebabkan korban dari suku yang berbeda. Dan adanya perebutan kepentingan dari kaum elite politik dan elite kepentingan dengan melibatkan massa.

Faktor utama terjadinya perang suku di Papua antara lain adalah faktor bahasa, tingkat pendidikan, Kesukuan yang sangat kental dengan solidaritas sempit yang sangat kuat, pemahaman dan penegakan terhadap hukum positif yang kurang dipahami.

Dari segi faktor bahasa, bahwa Papua terdiri dari ratusan bahasa yang tidak saling memahami antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya, sehingga penyelesaian konflik antar suku hampir tidak mengenal musyawarah. Penyelesaian konflik dilaksanakan dengan cara saling menyerang dan balas dendam tanpa ada kesudahannya.

Beruntung kita sekarang mengenal bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi antar ratusan suku. Hendaknya Bahasa Indonesia bisa menjadi alat pemersatu antar suku, bangsa dan negara.

Dengan bahasa Indonesia dapat mempersempit ruang perbedaan dan mempertemukan kesalah fahaman satu sama lain, mempersatukan perpecahan sehingga terwujud persatuan dan kesatuan Bangsa yang kokoh dan kuat.

Jangan sampai justru terjadi sebaliknya, bahasa menjadi sarana pemecah belah persatuan dan kesatuan Bangsa, sarana provokasi, penyebar fitnah, penyebaran berita bohong atau Hoax, adu domba dan lain-lain.

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Papua tidak berbanding lurus dengan perkembangan kemajuan tekhnologi informasi.

Sehingga masyarakat sangat mudah diprovokasi melalui media informasi tanpa ada kemampuan untuk menganalisa kebenarannya. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sering digunakan oleh pihak-pihak tertentu dengan memobilisasi massa untuk memenuhi kepentingannya.

Masyarakat sangat mudah diadu domba oleh provokator yang notabenenya lebih berpendidikan dibandingkan dengan warga masyarakat lain.

Tetapi kepintarannya bukan digunakan untuk mendidik rakyat sebaliknya malah membodohi rakyat untuk keuntungan pribadinya

Kesukuan yang sangat kental dengan solidaritas sempit yang sangat kuat sehingga cenderung hanya mementingkan kelompoknya tampa peduli terhadap kepentingan lain yang lebih besar.

Pembelaan dan dukungan terhadap pihak yang berkonflik cenderung hanya melihat dari komunitas kelompoknya atau sukunya tampa mau tahu siapa yang salah dan siapa yang benar.

Hukum adat atau hukum negatif di Papua sangat dominan bahkan cenderung mengabaikan dan pengalahkan hukum positif. Pemahaman dan kepatuhan terhadap hukum positif sangat rendah. Persoalannya para elite Papua, kaum yang menyatakan dirinya intelek, pejabat daerah, para tokoh dan lain-lain, dalam penerapan managemen konflik cenderung diselesaikan secara adat dengan mengabaikan hukum positif.

Seharusnya penyelesaian konflik dilaksanakan dengan cara menegakkan hukum positif sesuai dengan hukum negara dan UU yang berlaku yang didukung oleh seluruh elite masyarakat, baik kepala suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan dan Pemda tanpa mengabaikan penghargaan dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat.

Kembali kepada pokok persoalan bahwa TNI-Polri sebagai fasilitasor perang suku di Papua menurut definisi Saudara Elly Tipagau Seorang Intelktual Intan Jaya.

Bahwa ketika perang suku sedang berjalan TNI-Polri malah menjadi kameramen dan menjadi penonton setia di tempat konflik tersebut.

Kehadiran aparat keamanan di Medan pertempuran perang suku tidak mungkin langsung mengambil tindakan main babat yang dapat mengakibatkan terjadinya jatuh korban yang lebih banyak. Atau aparat keamanan secara konyol langsung terjun ke tengah-tengah kancah pertempuran, sehingga justru aparat keamanan yang menjadi korban pembantaian dari kedua kubuh yang bertikai.

Tetapi dalam penyelesaian perang suku yang sedang berkecamuk, aparat keamanan telah memiliki prosedur tetap dengan pentahapan dalam mengambil tindakan sesuai dengan eskalasi ancam yang terjadi.

Melalui proses mediasi, himbauan dengan pengeras suara dan seterusnya termasuk di dalamnya mengisolasi konflik agar tidak meluas kemana-mana atau mengakibatkan pengrusakan fasilitas umum, fasilitas negara dan objek vital. Jadi aparat keamanan bukan hanya sekedar berdiri menjadi penonton dan Kameramen. Adapun pengambilan gambar melalui kamera adalah untuk bahan laporan kepada pimpinan atas.

Dan setelah kedua belah kubu pulang perang ke pos masing-masing, mereka (TNI/Polri) sendiri antar jemput pake Mobil (truck) Dinas mereka lalu dikasih makan minum bahkan lebih anehnya membantu berupa uang, tujuan uang itu apa?

Perlu ditegaskan di sini bahwa TNI-Polri tidak pernah menjemput warga atau massa untuk datang ke Medan perang suku, justru sebaliknya Apkam berusaha mencegah dan membendung massa datang ke arena perang dengan melaksanakan sweeping di jalan di bandara dan lain-lain. Apkam selalu berusaha menggunakan langkah-persuasive dalam penyelesaian perang suku untuk mencegah terjadinya jatuh korban jiwa.

Betul bila situasi berhasil dikuasai oleh Apkam biasanya warga diajak berkumpul duduk bersama, dikasih makan dan minum, namun kalau ada yang kasi uang pasti bukan dari TNI-Polri karena mereka (TNI-Polri) sendiri kekurangan uang.

Hal ini sebagai upaya persuasive untuk meredam emosi rakyat yang dalam keadaan capek, lapar dan haus maka emosi sangat mudah meledak. Setelah makan dan minum diharapkan suasana menjadi dingin agar dapat diberikan pengarahan tentang pentingnya perdamaian. Biasanya mereka diantar pulang ke kampungnya masing-masing dengan pengawalan (Red_bukan dijemput untuk datang ke Medan perang).

Hal ini dimaksudkan agar mereka dipastikan kembali ke kampungnya masing-masing dalam keadaan aman, tidak melakukan pengrusakan di jalan atau kemungkinan kedua kubuh ketemu di jalan sehingga perang berlanjut kembali.

Pengamanan di Papua sangat beda jauh dengan pengaman di luar pulau papua. Pengaman di luar pulau papua, TNI-Polri tidak pernah menggunakan alat negara seperti senjata Api, Gas air mata dan lainya. Pengamanan di papua TNI-Polri Justru lengkap dengan alat perang seperti Senjata Api, Gas air mata, Mobil anti peluru dan lain-lain.

Penangan konflik sosial dengan pertimbangan pemilihan dan penggunaan alat perlengkapan dan persenjataan bukan berdasarkan pada daerahnya (Papua dan luar Papua) tetapi berdasarkan pada eskalasi ancamannya.

Konflik sosial yang pernah terjadi seperti di Ambon, Poso, Sampit, Banyuwangi dan lain-lain, pemerintah terpaksa menerjunkan aparat keamanan dengan peralatan persenjataan lengkap karena eskalasi sudah tinggi dan menjatuhkan banyak korban.

Demikian pula halnya yang terjadi di Papua, nama konfliknya saja disebut perang suku, pelaku konfliknya semuanya bersenjata panah, tombak, sajam bahkan mungkin senjata api.

Kenyataan di Papua banyak warga yang membawa senjata api secara Ilegal terutama dari kelompok TPN/OPM. Maka TNI-Polri tidak mungkin hanya datang dengan tangan kosong untuk menjadi korban sia-sia.

TNI-Polri Selalu menggunakan alat-alat tersebut untuk pengamanan diri sendiri bukan menggunakan pengamanan masyarakat. Sehinggga saran saya kepada TNI-Polri dan Pemerintah Bahwa tegakan aturan Sesuai UUD 1945 dan Pancasila.

Dalam penangan perang suku Aparat keamanan telah bertindak tegas, tetapi yang harus kita pahami bersama bahwa bertimbangan utama dalam penyelesaian konflik adalah menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.

Rakyat yang berperang di lapangan sebenarnya mereka bukan orang jahat dan bukan pula pelaku kejahatan, tetapi justru mereka adalah korban eksploitasi oleh orang-orang jahat atau elite-elite kepentingan yang bertikai, dimana demi mencapai tujuan tertentu mereka mengeksploitasi rakyat untuk saling berperang dan saling membantai satu sama lain.

Beberapa kali kejadian perang suku bisa dihentikan setelah kepala suku masing-masing pihak ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan.

Kesimpulan, untuk menyelesaikan problema perang suku di Papua tidak bisa dengan cara melemparkan kesalahan kepada aparat TNI-Polri tetapi perlu keterlibatan dan keterkaitan seluruh komponen bangsa dengan cara:

1. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana persatuan dan kesatuan bangsa, bukan sebagai alat pemecahbelah persatuan dan kesatuan;
2. Para elite politik, kaum intelektual, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat dll, agar memberikan pendidikan positif kepada rakyat dengan menyampaikan informasi yang benar dan mendidik, bukan menyesatkan apalagi menimbulkan ketegangan dalam masyarakat;
3. Perlu adanya penanaman rasa persatuan dan kesatuan yang harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga tercipta kerukunan tampa membedakan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan;
4. Adanya pemahaman, penerapan terhadap kepatuhan dan penegakan hukum positif oleh seluruh komponen bangsa. Bukan dengan cara mengedepankan hukum adat dengan mengabaikan hukum positif. Atau yang sering terjadi penegakan hukum positif oleh aparat justru dihalangi elite-elite tertentu dengan alasan adat Kesulungan, agama, hak ulayat dan lain-lain. (*)

Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara