NUBIC,.JAKARTA,.Politisasi
SARA merupakan suatu penyakit yang selalu berulang manakala terjadi
kontestasi kekuasaan di Indonesia, di masa lalu sejumlah konflik dengan
latar belakang SARA, timbul di berbagai wilayah. Konflik Ambon , Poso,
Sampit dan kerusuhan pada bulan Mei 1998 yang menyerang etnis Tionghoa
memunculkan keprihatinan mendalam tentang berbahayanya politisasi SARA
bagi persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
Terkait
dengan hal itu Jaringan Muda Muslim Jayakarta mengadakan Diskusi Publik
dengan Tema "Pemilu Tanpa SARA, Demokrasi 2019 tanpa Caci Maki" dengan
menghadirkan pembicara antara lain. Viktus Murin (Wakil Sekjen DPP
Partai Golkar), Eddy Soeparno (Sekjen DPP PAN), Arif Susanto ( Ketua
TPS) dan Boni Hargens (Pengamat politik) bertempat di UP2YU Resto and
Cafe, Cikini, Jakarta Pusat (12/5).
Kenyataan
Pluralitas Bangsa Indonesia yang sudah di persatukan dan menjadi satu
kesatuan dalam sebuah deklarasi pemuda, kesadaran ini terjadi sebelum
awal kemerdekaan. Berkat Persatuan inilah banyak orang berpendapat,
Indonesia mampu menuju kemerdekaannya.
Namun
kesadaran mengenai Pluralitas ini tampak mulai tergerus beberapa tahun
terakhir, setiap kelompok mulai gemar menonjolkan identitasnya
masing-masing dan mementingkan kelompoknya serta menomor duakan
kepentingan Bangsa. Padahal kelompoknya merupakan bagian dari satu
kesatuan bangsa yang penuh dengan perbedaan dan pluralitas yang harus
dihormati dan dirangkul keberadaannya sebagai bagian dari janji dan
sumpah para pemuda.
Arif Susanto seorang analis
politik exposit strategic, salah seorang anggota koalisi tolak
politisasi SARA menyebutkan, politisasi SARA biasanya disampaikan
melalui agitasi, propaganda, dan bentuk-bentuk lain seruan politik yang
cenderung membelah masyarakat dalam dua kelompok berlawanan.
Politisasi
SARA biasanya rentan terjadi dalam suatu masyarakat dengan ketimpangan
ekonomi, keterpinggiran, dan bentuk-bentuk lain ketidak-adilan sosial
yang berpadu dengan kurangnya literasi politik dan literasi media.
Arif
juga mengungkapkan bahwa politisasi SARA mengekspresikan politik kotor
yang dapat menurunkan legitimasi hasil pemilu dan kualitas demokrasi.
Oleh karenanya, dibutuhkan pengembangan literasi politik dan literasi
media juga pemenuhan keadilan sosial. Selain itu, dibutuhkan politik
dialogis yang mempertarungkan gagasan politik secara kritis. (P.
Siregar)
Posting Komentar