OLEH : Esra K.Sembiring, S.IP, M.AP, M.Tr (Han) , alumnus Ilmu Pemerintahan UGM, STIA LAN dan UNHAN
Pesta politik suksesi kepemimpinan nasional 17 April 2019 tinggal beberapa bulan lagi, panasnya hawa politik sudah terasa merambah kemana mana. Kawan dan lawan sudah mulai berani menampakkan konflik secara terbuka dan memperlihatkan warna yang sesungguhnya. Dalam prakteknya ukuran sopan santun politik seakan sudah mulai dilupakan. Jargon politik seperti "sontoloyo" sampai "gendurowo" maupun "tampang boyolali" laris dijadikan "gorengan politik" yang potensial menyasar ke segala arah tanpa memperhitungkn resiko kerusakan politik yang diakibatkannya.
Pesta politik suksesi kepemimpinan nasional 17 April 2019 tinggal beberapa bulan lagi, panasnya hawa politik sudah terasa merambah kemana mana. Kawan dan lawan sudah mulai berani menampakkan konflik secara terbuka dan memperlihatkan warna yang sesungguhnya. Dalam prakteknya ukuran sopan santun politik seakan sudah mulai dilupakan. Jargon politik seperti "sontoloyo" sampai "gendurowo" maupun "tampang boyolali" laris dijadikan "gorengan politik" yang potensial menyasar ke segala arah tanpa memperhitungkn resiko kerusakan politik yang diakibatkannya.
Memangnya apa kepentingan kita mempertanyakan ini ?
Biarkan saja semua berpolemik sesuka hati dan cara nya, toh nanti akan berhenti sendiri bila sdh selesai masa kampanye politiknya !.
Benarkah demikian ?
Tergantung darimana sudut pandang nya.Bagi sebagian masyrakat, konflik politik yang sengaja digulirkan dan berkembang saat itu hingga saat ini masih tetap terasa hangat bahkan pedas.
Bagaimana sebenarnya dengan aturan dan etika politiknya ?
Urgensi daruratnya apa ?
Sbg contoh bahwa Undang Undang nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang sdh resmi diberlakukan pd tgl 10 Nop 2008, namun sdh 10 thn tapi dianggap tdk berarti. Ujaran kebencian thdp ras maupun etnis masih terlalu gampang disampaikn dan sering kita dengar baik di media sosial maupun di media lainnya. Pertanyaannya skrg dimana level wibawa atau kekuatannya Undang Undang ini ?
Sejarah kelam disintegrasi bangsa yang terjadi tahun 50 an apakah saat ini masih menjadi materi wajib dalam pendidikan pelajaran sejarah bagi generasi muda bangsa ini ? Atau sdh dilupakan ?
Sejarah bangsa Indonesia sudah membuktikan sengsara nya penderitaan akibat peperangan melawan penjajah, juga sengsara dan sakitnya ibu pertiwi akibat perpecahan anak bangsa karena pengkhianatan komunis di G 30 S/PKI maupun separatisme daerah seperti PRRI Permesta. Lalu bagaimana dengan kondisi integrasi bangsa saat ini ?
Tidak dapat dipungkiri, kepentingan politik di Pemilu 2019 sangat mempngaruhi situasi nasional. Upaya untuk membentuk ayau menggiring opini masyarakat dalam prosesi demokrasi merupakan hal yang biasa, tetapi akan menjadi berbahaya bila dilakukan dengan segala cara bahkan mempertaruhkan persatuan bangsa.
Negara Indonesia sejak awalnya disadari terdiri dari berbagai ras, etnis, agama maupun karakteristik khusus lainnya, sehingga sangat ironi bila keragaman tersebut saat ini dipolitisir menjadi benih politik adu domba untuk kepentingan perebutan kekuasaan.
Banyak sudah contoh negara besar yang sudah pecah menjadi kecil seperti Uni Soviet dan lainnya hanya karena ketidakmampuan elite politiknya dan masyarakatnya dalam menempatkan posisi kepentingan bersama / nasional diatas kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.
Indonesia Merdeka karena perjuangan bersama seluruh rakyatnya, dibangun bersama melalui kerja keras dan kerja bersama oleh seluruh rakyatnya.
Tidak ada satu pembenaran atau legalitas apapun yang dibenarkan untuk menghancurkannya, karena isu ideologi bangsa Indonesia sudah final dalam Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Tidak ada perdebatan isu ideologi yang dibenarkan hadir menumpang dalam suksesi kepemimpinan nasional pd april 2019 nanti. Pemerintah harus tegas dan tidak ambigu hanya karena ketakutan dituduh tidak netral pada isu yang berpotensi pada terjadinya potensi disintegrasi bangsa seperti ini.
Mungkin ini hanyalah jawaban klise, tapi sejarah perpecahan bangsa di tahun 50 an harus dicegah agar tidak terulang kembali karena realitas pluralitas bangsa Indonesia harus dijaga keras bila tidak ingin pecah seperti negara besar lainnya.
( Dodik )
Posting Komentar