Desember ini suasana terasa membahagiakan sekali. Hadirnya hujan hampir disetiap hari menjadi ciri tersendiri. Seperti saat ini, sejuknya sepoi udara ditengah rintik gerimis hujan menjadi semakin nikmat terasa dengan hadirnya istri tercinta lengkap dengan sajian istimewanya, secangkir kopi panas plus durian "ucok", kiriman oleh-oleh khas dari medan yang terkenal itu. Baru mencium aroma durian-nya saja sudah membuat liur "bergejolak" seakan tak sabar untuk cepat meng "ekseskusi" nya.
Betul kali-pun, saat mengalir masuk kerongkongan, langsung jadi beda situasi-nya. Desing "hiruk pikuk" politik yang belakangan ini "menghujam" disekeliling serasa hilang seketika. Memang mantab kali "barang" itu, bah !, khas komentar anak medan pun keluar dengan spontan.
Namun suasana "nikmat" tadi, kembali berubah drastis menjadi "panik" karena rintik gerimis "menjelma" menjadi hujan yang deras. Semua jadi buyar seketika. Pikiranpun berkecamuk seketika, apakah sama.... seperti itu juga nanti yang akan terjadi ?. Saat rintik-rintik gerimis politik (seperti kritik maupun solusi yang ditawarkan secara santun itu) berubah menjadi hujan deras ( politik yang bertendensi fitnah bahkan ujaran kebencian) ?. Tidak usah dipungkiri, saat ini, memang nyatanya terjadi yang seperti ini. Hampir setiap saat hadir dan dipertontonkan kepada publik yang berkamuflase dalam bentuk kampanye maupun intrik-nya. Sampai sulit dijelaskan dengan pilihan kata-kata yang tepat. Apakah situasi "panas" seperti ini "rela" kita biarkan saja sehingga lambat laun membuat suasana nasional menjadi "kisruh" ?.
Imagine-nya elton john mungkin bisa mewakili situasi ini. Seandainya semua perbedaan atau ide politik dalam membangun negeri ini dapat dibicarakan dengan akal sehat, sambil santai duduk makan siang bersama, dengan hidangan orisinil bumi pertiwi, tidak perlu dengan menu import yang hanya menguras devisa. Pasti suasana emosional nya jadi berbeda.
Namun suasana "nikmat" tadi, kembali berubah drastis menjadi "panik" karena rintik gerimis "menjelma" menjadi hujan yang deras. Semua jadi buyar seketika. Pikiranpun berkecamuk seketika, apakah sama.... seperti itu juga nanti yang akan terjadi ?. Saat rintik-rintik gerimis politik (seperti kritik maupun solusi yang ditawarkan secara santun itu) berubah menjadi hujan deras ( politik yang bertendensi fitnah bahkan ujaran kebencian) ?. Tidak usah dipungkiri, saat ini, memang nyatanya terjadi yang seperti ini. Hampir setiap saat hadir dan dipertontonkan kepada publik yang berkamuflase dalam bentuk kampanye maupun intrik-nya. Sampai sulit dijelaskan dengan pilihan kata-kata yang tepat. Apakah situasi "panas" seperti ini "rela" kita biarkan saja sehingga lambat laun membuat suasana nasional menjadi "kisruh" ?.
Imagine-nya elton john mungkin bisa mewakili situasi ini. Seandainya semua perbedaan atau ide politik dalam membangun negeri ini dapat dibicarakan dengan akal sehat, sambil santai duduk makan siang bersama, dengan hidangan orisinil bumi pertiwi, tidak perlu dengan menu import yang hanya menguras devisa. Pasti suasana emosional nya jadi berbeda.
Cukup sepiring nasi putih mengepul yang disiram kuah dan sayur daun ubi tumbuk plus teri sambal medan, plus pete dan jengkol-nya, pasti membuat nyaman sejuk diskusi-nya. Masalah se-krusial apa pun itu, pasti ada jalan keluarnya. Minimal ada jalan tengah-nya. Kecuali memang niat awal-nya memang hanya untuk tampil beda. Hanya untuk buat kisruh saja. Kalau yang seperti ini, belum ada obat nya, bah !.
Seandainya bisa di terjemahkan menurut bahasa alam, sesungguhnya betapa nyaman dan damai-nya bumi pertiwi Indonesia kita ini bila keragaman dan perbedaan yang memang nyata ada itu di sikapi seperti alunan simphoni. Antara gemericik rintik hujan dengan sejuknya angin sepoi-sepoi yang ditingkahi kicau kutilang sambil minum secangkir kopi hitam kental panas.
Orisinil, ciri khas yang hanya bisa ditemui di sini, di rumah kita Indonesia ini. Senada dengan suasana yang dihadirkan dalam lirik lagu Achmad Albar yang (pernah) populer itu. Apakah kita rela suasana "damai" itu hilang dan menjadi berubah ?. Padahal masih banyak masyarakat yang tidak paham bahkan belum mendengar visi dan misi yang ditawarkan-nya
Lalu siapa yang harus perduli bila terjadi disintegrasi nasional (perpecahan bangsa) karena ke "egoisan" seperti ini ?.
Lalu siapa yang harus perduli bila terjadi disintegrasi nasional (perpecahan bangsa) karena ke "egoisan" seperti ini ?.
Bila kita mau berpikir dengan "kepala dingin" dan mencermati lebih dalam lagi, nyatanya tidak ada negara yang tiba-tiba "tumbuh" instan menjadi besar. Semua negara melewati proses panjang dalam pembentukan-nya. Bahkan tidak sedikit negara yang gagal bahkan "bubar" ditengah jalan, padahal negara tersebut tidak se-majemuk Indonesia. Artinya, tantangan Indonesia sebagai negara majemuk untuk mempertahankan eksistensinya pasti jauh lebih berat daripada negara yang hanya terdiri dari satu kelompok etnis atau agama saja.
Tidak mungkin ada negara yang (bisa) sukses menjadi negara besar semata-mata hanya dengan meningkatkan emosi primordial kelompok-nya sendiri saja.
Walaupun hanya bilik bambu, dan hanya alang-alang pagar rumah kita, namun nyata dibangun dengan bahan baku (yang diambil) dari dalam bumi pertiwi. Bukan ditiru dari "adopsi" bumi asing. Entah dari manapun itu.
Tidak mungkin ada negara yang (bisa) sukses menjadi negara besar semata-mata hanya dengan meningkatkan emosi primordial kelompok-nya sendiri saja.
Walaupun hanya bilik bambu, dan hanya alang-alang pagar rumah kita, namun nyata dibangun dengan bahan baku (yang diambil) dari dalam bumi pertiwi. Bukan ditiru dari "adopsi" bumi asing. Entah dari manapun itu.
( Dodik )
Posting Komentar