Kisah haru salah satu mantan tokoh fundamental gerakan separatis Papua, Nicolaas Jouwe. Pada 22 Maret 2009, berkalung bunga, bertopi fedora, pria renta itu tersungkur sujud di Bandara Sentani, Papua. Tongkat penopang dia lepaskan dari tangan, badannya membungkuk dan akhirnya tengkurap. Dia mencium tanah Papua, melunasi rindu yang menggebu.
Masa Kecil Nicolaas
Nicolaas lahir di Hollandia (saat ini Jayapura) pada 24 November 1924. Garis tangan, begitulah istilah yang dia gunakan, membawanya menjadi tentara meski dia tak pernah ingin jadi tentara. Garis tangan pula yang membawanya menjadi salah satu tokoh Papua di masa silam meski dia mengaku tak menginginkan sebutan itu.
Pendidikan Nicolaas
Nicolaas mengenyam pendidikan di sekolah pamong praja di Jayapura yang didirikan Residen Belanda, Jan Pieter Karel van Eechoud (Atas jasanya mendidik orang Papua, Van Eechoud dijuluki Bapak Orang Papua). Sekolah itu didirikan van Eechoud pada 1944, termasuk juga sekolah polisi.
Dijelaskan Jon RG Djopari dalam bukunya, ‘Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka’, elite terdidik Papua kemudian pecah menjadi tiga orientasi politik. Pertama, pro-Papua merdeka pro-Belanda. Kedua, pro-Papua merdeka anti-Belanda. Ketiga, pro-Indonesia. Nicolaas Jouwe digolongkan sebagai pro-Papua merdeka yang kooperatif dengan Belanda.
Benih Gerakan untuk Kemerdakaan Papua
Nicolaas Jouwe sempat ikut dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM). Namun ada kekecewaan saat konferensi Denpasar pada 1946 tak menyertakan wakil dari Papua. Konferensi itu sendiri menghasilkan Negara Indonesia Timur, pihak Indonesia menyebut itu adalah karya politik divide et impera Belanda.
Hingga kemudian Jouwe berubah menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Jouwe ikut dalam aktivitas Gerakan Persatuan Nieuw Guinea yang dibentuk Belanda untuk menentang pengaruh Indonesia. Mulai dari sini, nasionalisme Papua dibentuk.
Pada masa pemerintah Belanda, kawasan yang kini disebut sebagai Papua bagian Indonesia bernama Nederland Nieuw Guinea (Nugini Belanda). Nicolaas terpilih menjadi wakil presiden Dewan Nugini (Nieuw Guinea Raad), mendampingi presiden bernama Frits Sollewijn Gelpke, seorang pegawai negeri Belanda. Saat itu Nicolaas berjuang agar semua pihak menghormati hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa merdeka.
Sosok Pembuat Bendera Bintang Kejora (BK)
Sumpah Nicolaas untuk tak kembali lagi ke Papua sejak dia pergi ke Belanda pada 1963 silam terpecahkan. Dia adalah sosok paling penting di balik bendera kontroversial dari Bumi Cenderawasih, yakni Bendera Bintang Kejora, atau sering juga disebut sebagai Bendera Bintang Fajar (Morning Star Flag).
“Saya lah yang membuat Bendera Bintang kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961,” kata Nicolaas dalam bukunya, ‘Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran, dan Keinginan’.
Bendera Bintang Kejora dibikinnya, bercorak 13 garis biru dan putih horisontal, angka itu melambangkan jumlah rencana kawasan yang akan dikembangkan. Adapun gambar bintang adalah simbol cita-cita. Nicolaas lewat buku karya Danilyn Rutheford menyatakan bintang itu bermakna pengharapan, salah satu elemen dalam kebajikan Kristiani yakni iman, kasih, dan pengharapan.
Setelah Bintang Kejora karya Nicolaas terpilih menjadi bendera Papua Barat, maka pada 1 Desember 1961, bendera itu dikibarkan di samping Bendera Belanda untuk pertama kalinya. Kelak, tanggal itu akan diperingati sebagai berdirinya Negara Papua Barat yang diakui otoritas Belanda.
Nicolaas ke Belanda
Proses politik berlanjut melewati Perjanjian New York. Papua akan diserahkan Belanda ke Indonesia melalui lembaga PBB bernama UNTEA. Setelah Papua diserahkan ke UNTEA pada Oktober 1962 dan enam bulan kemudian diserahkan ke Indonesia, Jouwe meninggalkan Papua dan pergi ke Belanda.
Dia menetap di kota Delft, bersumpah tak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya jika masih diduduki oleh Indonesia. Adapun gerakan melawan Indonesia di Papua terus berlanjut saat Nicolaas tinggal di Belanda.
Nama Nicolaas diusulkan oleh ‘Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat’, cikal bakal OPM, sebagai wakil presiden yang mendampingi presiden Markus Kaisiepo. Nicolaas yang berada di Belanda yang semula ragu kemudian berhasil diyakinkan soal perjuangan di Papua Barat (kawasan yang sekarang disebut sebagai Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia).
Kembalinya Nicolaas kepada NKRI
Hingga 2008, Jouwe masih menegaskan sikap untuk tak kembali ke Papua yang menjadi wilayah Indonesia. Hingga menginjak 2009, ada surat dari Indonesia yang sampai ke Den Haag. Surat itu berasal dari Presiden ke-7 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) khusus untuk Nicolaas. Sebagaimana diceritakan Nicolaas dalam bukunya, surat itu dibawa oleh delegasi Fabiola Ohei, Ondofolo (Kepala Adat) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon MEset, pilot putra Papua lulusan ITB, dan Pendeta Adolf Hanasbey. Semua orang itu mendatangi Nicolaas khusus untuk mengantarkan surat dari SBY. Isi surat itu adalah ajakan SBY kepada Nicolaas untuk pulang ke Tanah Air.
“Saya menilai surat ini ditulis halus sekali, sebuah undangan yang bagus, dan saya merasakan bahwa surat ini ditulis dengan hati dan tulus. Surat ini ditulis bukan dengan otak tapi dengan hati. Tuhan Yesus bersabda: Percayalah dengan hati, jangan dengan otak,” kata Nicolaas.
Dia tersentuh oleh surat itu dan segera ingat ayat Injil, bahwa yang lembut hatinya akan mewarisi bumi. Nicolaas kemudian melangkah menemui Duta Besar RI di Belanda saat itu, Fanie Habibie dan segera akrab sambil bertukar pantun dalam Bahasa Ambon.
Tekad Nicolaas untuk NKRI
“Saya telah menyadari bahwa yang diperjuangkan selama ini merupakan pilihan yang salah. Kini saya melihat bahwa perhatian pemerintah Indonesia dan kondisi politik sudah berbeda terhadap Papua,” kata dia.
“Saya akan kembali selama-lamanya di Papua, Indonesia. Sekali Indonesia merdeka, tetap merdeka,” ujar Nicolaas.
Nicolaas akhirnya berangkat ke Jakarta dan melanjutkan terbang ke Papua di usianya yang ke-85 tahun. “Saya mesti pulang, pulang dengan hati gembira.”
Nicolaas tutup usia pada 16 September 2017 pada usia 93 tahun di Tanah Air dalam kondisi sudah menjadi Warga Negara Indonesia, dan telah mendapat penghargaan dari Presiden SBY berupa Bintang Jasa Nararya. (*)
Posting Komentar