Saya ingat di pertengah tahun 2005, kira-kira di bulan Juni, saya di telpon oleh seorang yang menyebutkan namanya Achmad Sahal dari Freedom Institute. Beliau meminta saya untuk datang ke Jakarta untuk bertemu dengan pimpinan Freedom Institute, Bapak Dr. Rizal Mallarangeng. Saya ingat sore waktu itu. Tanpa pikir panjang saya nyatakan siap untuk datang esok hari ini.
Saya waktu itu tinggal di Taman Gunung Bromo di Lippo Karawaci, Tangerang, Provinsi Banten. Disini, saya merupakan bagian dari anak-anak Papua yang di kirim oleh pemerintah Provinsi Papua lewat skema kerja sama dengan Surya Institute. Kebetulan juga waktu itu saya baru saja memenangkan kategori juara pertama lomba Riset Fisika “The First Step to Nobel Prize in Physics. Detil lomba dan pengumuman juara bisa di lihat di sini.
Pada pagi hari setelah saya menerima telpon dan mengiyakan untuk ke Jakarta, saya mempersiapkan diri tanpa pikir bagaimana saya bisa ke Jakarta dari Tangerang. Di saat itu memang saya hanya memiliki uang Rp. 10.000, - di kantong saya namun saya semacam yakin seperti ada “roh” yang bisik ke saya “Oge, ko jalan saja” dan ini buat saya tidak pikir panjang.
Karena dalam kompleks elit Lippo Karawaci ini hanya di lalui oleh bus-bus khusus Lippo, saya mau tidak mau harus naik ojek. Tujuan saya adalah jembatan toll antara kawan Lippo Karawaci dan tangerang karena tujuan saya adalah naik bis ke Jakarta. Ojek biasanya mematok harga di Rp. 25.000 – Rp. 40.000 tergantung “kejagooan” kita tawar-menawar dengan peng-ojek mereka. Saya biasanya pikir panjang kalau mau jalan kemana-mana dalam hal kesiapan isi kantong namun di saat itu saya hanya bilang kepada Om Ojek ini saya mau ke Jembatan Toll dan langsung naik dan tancap gas. Bermodalkan Rp. 10.000 saja! Sesampai di toll Merak – Jakarta, saya sampaikan kepada Om ojek ini kalau nanti saya pulang baru bayar alias saya utang. Untuk om ojeknya bilang siap saja dan balik ke komplek Gn Bromo.
Saya bergegas berjalan ke kolom jembatan tempat menunggu Bus dari Lampung atau Merak yang menuju Terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Disini biaya kalau naik bis ini berdiri itu sekitar Rp. 5000. Saya naik bus dan berdiri dengan harapan bus ini akan stop di jalan terdekat menuju menteng. Patokan saya adalah area Slipi. Saya tidak sadari kalau bis ini tidak akan keluar toll dan langsung menuju Kampung Rambutan. Untuk saja di toll Gatot Subroto, ada kemacetan dan pada saat di Slipi, saya minta di turunkan oleh kondektur. Sempat saya di tolak karena ia, sang kondektur katakan tidak bisa di turunkan di dalam toll. Saya bilang dengan tegas kalau saya harus turun disini dan tidak apa kalau lompat pagar toll yang lumayan tingginya sekitar 2 meter lebih. Di tengah panas terik dan di nonton oleh para sopir dan penumpang yang keheranan, saya lompat pagar. Dalam hati saya bilang tidak apa kam (kalian) bilang saya orang kampung atau dari kampung atau apalah. Saya tujuan ini jelas jadi saya tra pusing. Sempat saya berpaling lihat ke belakang, kiri dan kanan, memang orang-orang ada lihat saya. Syukur Pak Polisi tidak berhentikan saya atau di tangkap.
Dari Slipi, saya jalan kaki ke Menteng di tengah terik matahari. Sesampai di Jalan Irian No 8 Menteng, Jakarta Pusat, saya akhirnya disambut oleh Pak Achmad Sahal. Duduk di samping teras Freedom Institute ada Prof. Bill Liddle, seorang dosen politik Amerika dari Ohio State University yang cukup dikenal di kalangan akademisi Indonesia. Disini, saya langsung di tawarkan minum dan saya minta teh. Sejenak saya jawab pertanyaan dari beliau dan juga berkenalan denga Prof Liddle yang fasih bahasa Indonesia namun karena terlalu kecapean, saya agak sedikit “blank” walaupun fokus mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang di kasih ke saya.
Berselang 10 menit turunlah Pak Rizal Mallarangen atau yang saat ini saya akrab panggil Pak Celli. Saya ingat betul beliau begitu bersemangat bertemu dengan saya dan mulai berbincang-bincang dengan saya. Dan menanyakan ulang perjalanan saya. Saya polos menjawab apa adanya dan berterima kasih untuk kesempatan yang di berikan. Disini beliau katakan kalau Freedom Institute akan menyekolahkan saya. Cukup kaget juga saya karena saya pikir ini pembicaraan tidak serius. Beliau sambil bicara, ia menelpon Pak Aburizal Bakrie yang saat itu adalah Menteri Koordinator Perekonomian. Beliau lalu mengatakan 30 menit lagi kita akan bertemu Pak Ical, sapaan akrab Pak Aburizal. Saya masih belum connect namun beliau meminta saya menunggu sambil melihat koleksi buku Perpustakaan Freedom Institute.
Selepas 30 menit naik ke lt 2 kantor Freedom untuk mengerjakan sesuatu, mobil Ford sudah parkir mundur di halaman Freedom Institute, mobil Pak Celli, dan saya diminta naik dan duduk disamping beliau dan sopir tancap gas ke Wisma Bakrie. Dalam perjalanan 15 menit, percakapan saya dan Pak Celli berubah. Kami speak full bahasa Inggris. Beliau bertanya dan menjelaskan berbagai macam hal dalam bahasa Inggris ke saya. Bisa di katakan hanya 40 persen saya paham apa yang di sampaikan dan membalasnya dengan bahasa Inggris versi kaki kepala saya.
Sesampai di gedung Wisma Bakrie, saya hanya kepikiran satu hal: sebentar saya pulang bagaimana ke Karawaci?
Namun, dalam hati, saya katakan, “Oge, tenangkan diri dan ko tenang saja. Nanti ko pulang.” Saya pikir juga kalau ketemu beliau, apakah saya sampaikan saya tidak punya uang untuk pulang ke Karawaci ataukah pasti mereka Bapak-Bapak ini sudah mengerti. Akhirnya, sewaktu bertemu Bapak Aburizal Bakrie, Pak Ical, beliau sangat senang. Sangat senang sekali dan dia katakan: “You akan kami sekolahkan ke mana saja di seluruh dunia ini dan tolong manfaatkan kesempatan ini” sembari memeberikan saya 1 amplop coklat barisikan uang sebesar sepuluh Juta. Saya tahu sepuluh juta saat saya balik kanan pulang ke Karawaci yang mana amplop ini saya buka di dalam taxi. Tadinya saya mau naik bus lagi tapi saya pikir sudahlah, mungkin ini sudah karya semesta yang membayarkan keberanian saya dengan modal Rp. 10,000 pergi ke Jakarta dari Karawaci. Atau mungkin ini lah yang tadi suara kecil bilang “oge, ko jalan saja, pasti akan baik-baik” dimana saya amini dengan tidak pakai gerakan lama dan langsung menuju om Ojek.
Akhirnya, pada 28 April 2005, bermodalkan sura di terima di salah satu kampus di Amerika dan uang sebesar USD 10,000 di tangan, saya bertolak Ke Cleveland, Ohio transit di Narita, Jepang dan Los Angeles, California. Pada 10 Januari 2010, saya balik ke Indonesia dengan bermodalkan gelar saraja Teknik Dirgantara dari Florida Institute of Technology, Melbourne, Florida.
Sedikit saya kilas balik. Saya dulu sekolah dari SD sampai SMA di kota Jayapura. Saya merasakan kehidupan yang serba susah di jaman OTSUS itu belum ada. Saya tidak punya mimpi bahkan cita-cita. Dulu SD saya mau jadi Pastor. Waktu di SMP saya mau jadi Tentara jadi sempat mau lamar ke SMA Nusantara di Magelang. Sewaktu di SMA, saya berjuang untuk jadi pilot TNI AU dan harus masuk Akademi Militer. Namun jalan yang saya akhirnya tempuh dan lalui sangat lain. Dulu kalau OTSUS tidak ada mungkin saya tidak akan masuk skema kerja sama Pemerintah Provinsi Papua dan Surya Institute. Ini makanya saya pikir kebijakan OTSUS memang banyak orang bicara bahwa itu hanya gimmick Jakarta untuk orang Papua namun sedikitnya saya sendiri tertolong oleh kehadiran dana OTSUS ini yang membuat adanya kesempatan bagi saya untuk bisa di didik khusus Prof. Yohanes Surya dan akhirnya memperoleh beasiswa ke Amerika Serikat. Kita mau bicara OTSUS gagalpun saya rasa tanpa OTSUS hadir, saya mungkin tidak mampu bersekolah ke dunia. Jadi, boleh saya katakan mungkin semua kembali ke pribadi masing-masing. Mungkin karena saya sendiri berjuang untuk belajar dan mengasah kemampuan sehingga kesempatan yang datang itu saya dapat meraih kesempatan tersebut. Inilah yang membuat saya rasa apa yang OTSUS berikan ini ada artinya buat orang Papua. Mungkin mayoritas orang Papua katakan OTSUS itu tidak berdampak bagi kita namun bagi saya, kehadiran OTSUS ini pernah membantu saya sehingga saya bisa bersekolah. Tanpa program pemerintah ini, saya tidak tahu saya ada dimana sekarang dan buat apa.
Juga, terakhir yang ingin saya katakan, banyak orang Indonesia yang punya hati untuk bangun Papua dengan sungguh-sungguh. Tuhan kirim orang seperti Pak Achmad Sahal, Pak Rizal Mallarangeng, Pak Aburizal Bakrie, Ibu Sarah Santi dan orang-orang di Freedom Institute kepada saya atau saya di pertemukan dengan mereka ini adalah suatu berkat Tuhan yang saya syukuri dan harus saya lanjutkan untuk membangun Papua. Indonesia ini dikatakan menjajah itu pukulan umum dari orang-orang yang kadang menyepelekan berbagai macam hal baik pemimpin orang Indonesia sudah lakukan buat tanah Papua.
Saya cukup tidak mau bicara banyak untuk menyalakan pemerintah atau politik negara ini atau politik tanah ini dan saya mau katakan bahwa Indonesia hadir di Papua telah membawa berbagai macam perubahan. Semua kembali ke sikap pribadi masing-masing kita. Saya akan berusaha untuk membangun orang Papua dan bangsa Indonesia karena saya percaya kebaikan dan ketulusan orang-orang baik di negara ini akan membawa perubahan dan kedamaian dan kebaikan yang luar biasa bagi umat manusia. Saya akan turut ambil peran dan fokus untuk bekerja untuk hal ini.
Sentani, 13 September 2020
Septinus George Saa
Peneliti di Mason Institute Tribology, University of Birmingham, England.
Posting Komentar