Oleh: Peter Tukan
KETIKA Timor Timur (kini Negara Timor Leste) masih bersama Indonesia sebagai sebuah provinsi, Remexio merupakan sebuah kecamatan (atau di Papua disebut Distrik). Pada Juni 1994 Remexio dilanda konflik beraroma agama, berupa penodaan inti ajaran iman Katolik. Sedangkan Hitadipa merupakan sebuah distrik di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada September 2020 dilanda konflik bernuansa agama dengan tertembaknya Ketua Klasis Daerah Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Pdt. Yeremia Zanambani,S.Th.
Dua peristiwa ini walaupun masyarakat, tempat dan waktunya berbeda, namun kedua konflik di dua wilayah itu bersentuhan langsung pada rasa keagamaan umat beragama setempat, dimana di Remexio terusik rasa keagamaan umat Katolik, sedangkan di Hitadipa terusik rasa keagamaan jemaat Protestan GKII.
Rasa agama adalah perasaan, tindakan dan pengalaman seseorang (kelompok orang) dalam batinnya, sejauh orang tersebut dapat memahami dirinya untuk tetap menjalankan pengalaman yang bersifat ketuhanan ( William James, Pakar Psikologi Agama). Rasa agama memiliki dimensi sosial (social commitment sejauh pemeluk agama itu terlibat dalam relasi dengan sesamanya. (alfinahmad.blogspot.com).
Peristiwa Remexio
Konflik di Remexcio berawal dari dalam rumah ibadah. Pada Minggu,28 Juni 1994, umat Katolik setempat menggelar ibadah (Misa). Dua prajurit TNI AD dari satuan Zeni Konstruksi (Zikon) yang bukan beragama Katolik ikut berbaur bersama umat menghadiri perayaan Misa dalam gereja Sao Jose Remexio.
Ketika umat mulai mengikuti salah satu bagian sakral dari perayaan Misa yakni Komuni Kudus – menyambut dengan penuh khusuk dan hormat Hostia Kudus (Hostia adalah roti bulat tipis berwarna putih, yang menjadi salah satu unsur terpenting dan sakral dalam ibadah/perjamuan kudus umat Katolik. Setelah terjadi perubahan hakekat atau transsubstantio, Hostia ini diimani sebagai Tubuh Kristus - tanda kehadiran Yesus Kristus) dua prajurit ini pun ikut menerimanya dari tangan Pastor dan membawa Hostia itu sampai ke luar rumah ibadah dan membuang Hostia dari genggaman tangannya. Inilah “kekonyolan” kedua anggota Zeni tersebut.
Umat yang melihat perilaku seperti itu, langsung bereaksi dengan menggerubuti dan menggebuk hingga keduanya babak belur sebelum diamankan oleh beberapa petugas keamanan internal gereja dan personel keamanan setempat. Beruntung pula, Posko Zeni AD terletak tidak jauh dari gereja itu sehingga keduanya dapat diselamatkan teman-temannya dan segera diungsikan dari sana.
Beberapa hari sesudahnya, Pemimpin umat Katolik Keuskupan Dili, Uskup Carlos Filipe Xmenes Belo,SDB datang ke Remexcio untuk mengunjungi sekaligus menenangkan umat yang masih marah. Ketika berada di Remexio, Uskup Belo bertemu Komandan Korem (Danrem) 164/Wira Dharma, Timor Timur, Kol.Inf.Kiki Syahnakri. Pada kesempatan pertemuan itu, Danrem Kiki menyampaikan permohonan maaf atas kejadian itu dan berjanji akan segera memberikan pembinaan/pendampingan kepada para prajurit yang bertugas di Timor Timur agar mampu dan selalu menjalin relasi yang baik dengan masyarakat yang berbeda secara budaya dan agama.
Uskup Belo setelah mendengar apa yang disampaikan Danrem Kiki Syahnakri, langsung menanggapi dengan sangat positif. Uskup Belo bahkan meminta agar kedua prajurit Zeni itu tidak dihukum lebih lanjut lagi. “Mereka sudah dihakimi oleh massa dan sangat menderita. Saya kira itu cukup,” ujar Uskup Belo. (Baca: Kiki Syahnakri dalam “Timor Timur The Untold Story”, 2013,hal.174-179).
Kiki Syahnakri dalam bukunya itu menulis: ”Itulah kebesaran hati dan kearifan Uskup Belo. Ia tidak ingin memperuncing situasi. Sebagai seorang pemimpin spiritual, Uskup Belo tetap menaruh perhatian pada dimensi kemanusiaan dalam setiap kasus atau kekhilafan yang terjadi. Meskipun demikian, Uskup Belo tetap bersikap kritis terhadap setiap kebijakan dan cara bertindak personel TNI yang berpotensi melukai hati rakyat,” (Hal.178).
Masih sangat segar dalam ingatan saya yang ketika itu menjadi wartawan Harian “Suara Timor Timur” (STT) di Dili, keberangkatan Uskup Belo dari kediamannya di jantung Kota Dili menuju Remexio, sama sekali tidak diketahui oleh seorang wartawan pun dan hasil kunjungannya di Remexio serta pertemuannya dengan Danrem, tidak diberitakan oleh media manapun juga.
Sebagai wartawan, saya baru mengetahui bahwa Uskup Belo telah kembali dari Remexio dan telah bertemu dengan Danrem Kiki Syahnakri, setelah Uskup Belo berada kediamannya sore itu dan Beliau sendiri menyampaikan kepada saya bahwa dirinya baru saja kembali mengunjungi umat/masyarakat di Remexio. Pada saat itu juga, sebagai seorang wartawan, saya meminta Uskup Belo untuk diwawancarai atau menggelar jumpa pers hasil kunjungannya ke Remexio dan pertemuannya dengan Kol.Inf.Kiki Syahnakri.
“Peter, minta maaf, tidak semua hal atau kegiatan harus diberitakan di media massa. Ada kegiatan tertentu yang tidak perlu dipublikasikan, seperti kunjungan saya ke Remexio yang baru saja redah dari konflik bernuansa agama karena tidak semua warga masyarakat atau anggota umat yang dapat memahami secara baik , benar dan utuh apa yang kami lakukan di Remexio dan apa yang diberitakan media tentang pekerjaan kami ini. Begitu pula, tidak semua wartawan mampu menangkap secara baik, benar dan utuh apa yang kami bicarakan. Kadang terjadi, kami berbicara lain, tetapi wartawan menulis lain sama sekali,” kata Uskup Belo.
Seorang wartawan, lanjut Uskup Belo harus memiliki pemahaman tentang geopolitik suatu wilayah dan mampu melakukan analisa sosial sebelum dia menulis dan menyiarkan berita.
Lebih lanjut Uskup Belo mengatakan, sering sebagai pemimpin agama di suatu daerah konflik, orang memanfaatkan pernyataan pemimpin agama di media untuk kepentingan politik mereka atau memutarbalikkan fakta dan pernyataan kami untuk menyudutkan lawan politik sehingga kami harus tahu, kapan harus berbicara dan kapan tidak perlu berbicara kepada media. Media dapat menyejukkan suasana tetapi dapat juga merusak suasana dan kerukunan hidup bersama.
Begitu pula, sebagai pemimpin agama, kami tidak boleh memanfaatkan media sebagai sarana untuk menelanjangi tindakan seseorang yang diduga bersalah hanya karena ada rasa benci dan dendam dalam diri kami. Suara “kenabian” seorang pemimpin agama bukanlah suara yang mengutuk tetapi suara pengampunan dan cintakasih.
Beberapa hari kemudian tepatnya 3 Juli 1994, Uskup Belo mengeluarkan pernyataan tertulis (Nota Pastoral) berjudul “Pencemaran Dan Penodaan Hostia Kudus”. Pada pernyataan tertulis itu Uskup Belo antara lain meminta Pimpinan ABRI dan anggotanya yang bertugas di Timor Timur, kiranya menghormati seluruh perayaan keagamaan dan devosi yang dijalankan umat Katolik di Timor Timur.
“Pimpinan ABRI dan sipil hendaknya memperhatikan dan membina seluruh personil ABRI dan sipil yang bertugas di Timor Timur, agar memahami adat istiadat dan tradisi perayaan iman umat/masyarakat Timor Timur,” tulis Uskup Belo.
Begitu pula, lanjut Uskup Belo dalam Nota Pastoral itu, pimpinan dan anggota ABRI maupun sipil yang tidak beragama Katolik, yang diundang pada suatu resepsi/pesta yang didahului dengan ibadat atau Misa Kudus seyogyanya tidak perlu mengikuti Misa Kudus melainkan mengikuti resepsi/pestanya saja. (Baca buku: Peter Tukan – Domingos de Sousa: “Demi Keadilan dan Perdamaian” diterbitkan: Komisi Keadilan dan Perdamaian, KWI, 1997, Hal.332-333).
Peristiwa Hitadipa
Umat beragama dimana pun berada khususnya jemaat Protestan GKII di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua tentu juga merasa terusik “Rasa Agama” di dalam diri mereka ketika pada Sabtu, 19 September 2020, terbetik berita duka yang sangat mengejutkan yaitu, Ketua Klasis GKII Hitadipa, Pdt Yeremia Zanambani,S.Th meninggal dunia akibat tertembak peluru tajam.
Kabar yang menghebohkan itu sontak menusuk batin umat beragama khususnya umat Kristen di Tanah Papua dan dimana saja berada. Rasa agama yang tertanam dalam sanubari, bergetar seketika. Mengapa demikian? Karena bagi umat beragama manapun juga, seorang pemimpin agama dianggap dan dipandang sebagai pribadi yang dalam hidupnya sangat dekat dengan “Yang Ilahi”. Pemimpin agama oleh masyarakat beragama dalam kebudayaan Timur dianggap sebagai “wakil” Tuhan di dunia karena itu dia dihargai secara istimewa, dihormati dan diberikan “tempat khusus” di dalam batin setiap umatnya dan dalam pergaulan sosial.
Apabila seorang pemimpin agama dicemooh, dilukai apalagi dibunuh maka rasa agama umatnya berontak seketika untuk bangkit membela pemimpin agamanya. Konflik sering terjadi ketika umat beragama merasa agamanya, rumah ibadahnya, pemimpin agamanya atau simbol-simbol agamanya dilecehkan atau dinodai.
Terkait kematian Pdt.Yeremia Zanambani,S.Th, terbukti berbagai kalangan “bangkit” memberikan perhatian dan menyuarakan keprihatinan mereka, dengan berbagai pernyataan “kutukan” kepada orang yang diduga melakukan pembunuhan atas diri pemimpin agama tersebut dengan alasan manusia tidak berhak sedikitpun mencabut nyawa sesamanya.
Pernyataan protes dan kecaman disampaikan dengan berbagai cara dan sarana antara lain melalui jumpa pers untuk diberitakan di media sosial, media massa online serta media massa arus utama seperti media cetak, TV dan radio.
Di dalam situasi yang mencekam ini, lebih banyak orang berharap munculnya suara-suara berisi membela kehidupan sesama manusia dengan berteriak secara lantang melalui alat pengeras suara, media massa dan media sosial; sebaliknya langkah atau tindakan yang lain dari itu, dianggap tidak mempan, tidak berbuat apa-apa; tidak berpihak kepada orang yang menderita, tidak membela nilai kehidupan itu sendiri.
Seiring dengan itu, ada juga pihak lain di dalam masyarakat yang berjuang membela kehidupan, mengupayakan keadilan dan kedamaian melalui langkah-langkah strategis, sistematis, terukur dan tepat sasarannya dengan tanpa harus digembar-gemborkan ke hadapan publik melalui media massa, tanpa ingin terlihat sibuk- hingar-bingar yang mungkin akan dapat memunculkan konflik baru. Prinsipnya adalah : “menarik sehelai rambut tanpa merusakkan adonan” atau “mengambil ikan tanpa mengeruhkan airnya”.
Di dalam situasi yang pilu akibat tertembaknya Pdt.Yeremia ini, terdapat cukup banyak orang atau kelompok orang yang secara “diam-diam”-jauh dari pantauan media, bekerja keras, tidak hanya bertujuan agar kasus penembakan itu segera dijernihkan dan menjadi terang benderang bagi semua pihak; tetapi juga lebih dari itu yakni berupaya mengambil langkah-langkah nyata dan strategis untuk tercapainya “Papua Tanah Damai” yang merupakan visi dan misi bersama semua umat beragama dan pemimpinnya di Tanah Papua.
Dari dua peristiwa yang terurai di atas yang terusik “rasa agama” para pemeluk agama dua wilayah konflik yang berbeda itu, diyakin bahwa tidak mungkin tidak ada “tangan-tangan halus” yang terus mengadu-domba antarkita - sesama warga masyarakat untuk saling berhadp-hadapan; saling menghancurkan satu sama lain demi tercapai kepentingan politik, ekonomi dan keamanan dari “tangan-tangan halus” itu sendiri. Artinya, bagaimanapun juga kita patut percaya bahwa ada “dalang” di balik wayang !
Kita tidak bisa percaya begitu saja bahwa dua prajurit TNI yang masuk ke dalam gereja untuk berbaur dan ikut beribadah Misa umat Katolik gereja Sao Jose Remexio, Timor Timur itu, tidak tahu samasekali bahwa tempat sakral dan upacara sakral seperti itu seharusnya tidak boleh dimasuki oleh mereka yang bukan seagama, seiman dan segereja, apalagi dengan berani menodai kesakralan inti iman umat Katolik saat ibadah itu.
Begitu pula, kita tidak serta-merta percaya bahwa orang yang menembak mati Pdt Yeremia Zanambani,S.Th di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua adalah orang atau kelompok orang yang tidak mengenal pemimpin Klasis GKII itu sekaligus tidak pernah memiliki “rasa agama” terhadap seorang pemimpin agama yang dihormati dan disegani umat dan masyarakat di wilayah itu.
Siapapun pelaku tindakan pencemaran Hostia di Remexio atau pelaku tindakan kekerasan pembunuhan atas diri Pdt.Yeremia pasti memiliki “rasa agama” di dalam hati sanubarinya. Rasa agama seseorang sudah tertanam sejak orang itu masih bersama orangtuanya di dalam keluarga -- kalau memang keluarga itu sendiri adalah keluarga yang beriman dan beragama.
Rasa agama adalah internalisasi nilai-nilai; maksudnya, rasa agama merupakan sebuah manifestasi dari bentuk internalisasi ajaran agama melalui pengalaman batin sehingga pengalaman batin tersebut memengaruhi perilaku seseorang.
Jika demikian maka, sangat tidak masuk akal apabila seseorang berani melakukan tindakan menodai kesakralan agama atau membunuh seorang pemimpin agama yang dihormati jika dia tidak dipengaruhi atau diperintahkan atau diarahkan oleh “tangan-tangan halus” itu . Mereka yang melakukan penodaan kesakralan agama di Remexio atau yang menembak Pdt.Yeremia di Intan Jaya adalah pelaku lapangan atau eksekutor yang bekerja atas pengaruh, atas perintah, arahan dan petunjuk “tangan-tangan halus” itu. Pertanyaannya, kalau begitu, dalam hal ini, siapa yang dirugikan? Justru Kita sendirilah yang rugi, sedangkan yang menang adalah “tangan-tangan halus” itu. Di sini berlaku ungkapan: Kalah jadi abu - Menang jadi arang!
Opus Solidaritatis Pax
Belajar dari peristiwa Remexio dan Hitadipa yang terurai di atas, kita semua akhirnya menyadari bahwa visi dan misi bersama yakni “Papua Tanah Damai” dapat tercapai secara penuh apabila terbangun solidaritas universal tanpa membeda-bedakan asal suku, agama, ras, golongan dan ideologi atau aliran politik apapun juga.
Solidaritas akan menutup rapat-rapat celah bagi “tangan-tangan halus” untuk “mengail di air keruh”. Solidaritas membuat kita tidak mudah diadu domba oleh “tangan-tangan halus” itu. Solidaritas universal membuat kita bersatu padu menghadapi “musuh bersama” seperti: Ketidakadilan sosial, keserakahan kekuasaan, kerakusan ekonomi dan ketamakan sumber daya alam, penjajahan (kolonialisme) gaya, wajah dan bentuk baru, dan sebagainya.
Membangun solidaritas berarti membangun rasa senasib-sepenanggungan dengan sesama manusia. Solidaritas itu bukanlah perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak orang yang dekat maupun jauh.
Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan dan perdamaian bersama karena kita sungguh-sungguh bertanggungjawab atas semua orang (Uskup John Liku-Ada :”Solidaritas Sosial dalam Masyarakat Majemuk”, dalam Spiritualitas Sosial, - Eddy Kristiyanto,OFM (ed), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2020).
Solidaritas bagi kita merupakan jalan menuju damai di Tanah Papua, sekaligus perombakan sikap saling curiga menjadi kerjasama. Dengan demikian, benarlah apa yang sering didengung-dengungkan banyak orang bahwa : “Opus Solidaritatis Pax – Damai adalah buah Solidaritas; selain Damai merupakan buah Keadilan – Opus Iustitiae Pax”.
Solidaritas memungkinkan kita semua menghormati HAM, mencegah konflik serta memelihara dan meningkatkan dialog tulus antaragama dan budaya menuju Papua Tanah Damai.
Nama lain dari solidaritas adalah “persudaraan sejati. Dengan persaudaraan sejati, kita yakin bahwa setiap orang itu berharga, entah dari agama, entah suku, kedudukan sosial dan golongan apapun, juga dalam kondisi fisik apapun juga.
Sarah Ahmed menulis :”Solidaritas tidak mengandaikan bahwa perjuangan kita sama, atau penderitaan kita sama, atau harapan dan cita-cita yang sama akan masa depan. Solidaritas mengandung unsur komitmen, dan upaya bertindak, sekaligus pengakuan bahwa biarpun kita tidak memiliki perasaan yang sama, atau hidup yang sama, atau badan yang sama, tetapi kita hidup pada bumi yang sama” (Ahmed Sarah dalam “Keuskupan Maumere, Renstra Pastoral 2014-2018,Hal.76).
Sarah Ahmed melihat solidaritas merupakan sebuah kebajikan sosial, sebuah keniscayaan karena sama-sama sebagai warga dari bumi yang sama. Solidaritas menuntut pengorbanan karena kepentingan yang sama tidak diandaikan.
Akhirnya, selama kita tidak memiliki “ solidaritas atau persudaraan sejati” tanpa membeda-bedakan asal suku, agama, ras, latarbelakang politik dan etnis maka selama itu pula visi dan misi “Papua Tanah Damai” sulit terwujud di Bumi Cenderawasih ini. ***
*Peter Tukan: mantan wartawan
Posting Komentar