Selasa 17 November 2020
Oleh : Dahlan Iskan
INI
bisa dibilang telak. Pun ketika Presiden Donald Trump belum mau
mengakui kekalahannya di pilpres Amerika. Ia sudah kalah telak di Asia.
Dua
hari lalu kita berhasil membentuk blok besar ekonomi. Anggotanya 15
negara. Blok ini mengejutkan karena meliputi 1/3 penduduk dunia. Juga
1/3 GDP jagat raya.
Saya
menyebut "kita" karena Indonesia ada di dalamnya. Semua negara ASEAN, 10
negara, tanda tangan. Secara online. Ditambah Tiongkok, Jepang, Korsel,
Australia, dan Selandia Baru.
Maka,
blok ekonomi kita itu lebih besar dari blok ekonomi Eropa –apalagi
setelah ditinggal Inggris. Juga lebih besar dari blok
Amerika-Kanada-Meksiko. Yang disebut Nafta itu.
Dunia pun tiba-tiba menoleh ke Asia Timur-Asia Tenggara-Australia ini. Seperti langsung melupakan heboh politik di Amerika.
India
sebenarnya ikut dalam pembicaraan sejak awal. Sejak tahun 2012. Tapi,
tahun lalu India mundur dari blok ini. Kalau saja
India-Pakistan-Bangladesh ikut serta, kekuatannya lebih dahsyat lagi.
India
mengatakan, industri dalam negerinya belum siap bersaing. India
tergabung dalam asosiasi negara-negara Asia Selatan bersama Sri Lanka,
Bangladesh, Pakistan, Nepal, dan Bhutan.
Meski begitu, India kapan saja bisa masuk kembali ke dalam RCEP. Mungkin setelah Trump meninggalkan Gedung Putih kelak.
RCEP
(baca saja: ercep) adalah nama blok baru ini. Singkatan dari The
Regional Comprehensive Economic Partnership. Mirip TPP (Trans-Pacific
Partnership) yang ditinggalkan sepihak oleh Amerika setelah Trump jadi
presiden.
Saya juga
menyebut ”kita” karena yang punya inisiatif gercep adalah ASEAN. Bukan
Tiongkok atau Jepang. Waktu itu Tiongkok punya gagasan blok Asia Timur:
Jepang-Korsel-Tiongkok.
Sudah
lama KTT ASEAN selalu mengundang Jepang, Korsel, Tiongkok, dan
Australia. Istilahnya: KTT ASEAN plus-plus. Kini ASEAN plus-plus itu
menjadi satu blok ekonomi yang formal. Hebatnya juga: penandatanganannya
dilakukan secara online –akibat pandemi.
Maka,
15 negara anggota blok ercep ini sudah sepakat untuk menurunkan bea
masuk. Dengan demikian, barang dari mana saja yang masuk ke mana saja
bebas bea atau mendapat tarif yang rendah.
Itu akan seperti yang dipraktikkan di blok Amerika-Kanada-Meksiko atau di blok negara-negara Eropa.
Kita
tentu tidak kaget lagi. Kita sudah bertahun-tahun mempraktikkannya di
Afta (ASEAN Free Trade). Atau yang oleh kita disebut MEA –Masyarakat
Ekonomi ASEAN.
Begitu
takutnya kita dulu –sebelum ada MEA. Seolah kita akan kiamat. Nyatanya
kita masih baik-baik saja –sebelum akhirnya tidak baik karena ada
pandemi.
Dengan MEA, kita ternyata hanya sedikit demam. Tapi dengan ercep, mungkinkah kita akan terbatuk-batuk?
Kuncinya
ada di kondisi tubuh kita sendiri. Kalau ekonomi kita sehat, kita tidak
akan terkena Covid-19, ups, terkena imbas ercep.
Salah
satu vitamin sehat itu adalah ekspor. Kita harus bisa ekspor apa pun
yang kita punya. Ini mudah diucapkan. Tapi, melaksanakannya lebih sulit
dari memperistri Nikita Mirzani.
Saya
tidak menyangka di Asia bisa terbentuk blok ekonomi seperti itu.
Secepat itu. Bangsa Asia ternyata mampu juga mengendalikan ego
masing-masing untuk kemakmuran bersama.
”Ini
kemenangan sikap pro-multilateral,” ujar Perdana Menteri Tiongkok Li
Keqiang. Tentu ia malu untuk mengatakan ini sebagai kemenangan Tiongkok.
Terutama menang atas Amerika Serikat.
Di
sana, terutama sejak Trump berkuasa, ekonomi menjadi lebih sempit.
Demikian juga Inggris di bawah Boris Johnson. Waktu itu Trump sangat
percaya dengan membatalkan free trade, ekonomi Amerika akan meroket. Dan
itu betul. Hanya karena pandemi merosot kembali.
Kini justru Asia yang memercayai perdagangan bebas. Entah Amerika setelah Trump tidak lagi berkuasa.
Bagaimana
dengan India? India memang selalu punya masalah dengan Tiongkok. Dulu
India sangat pro-Uni Soviet untuk bisa bertengkar dengan Tiongkok.
Belakangan India lebih pro-Amerika di tengah perang dagang
Amerika-Tiongkok.
Keluarnya
India dari ercep terjadi tahun lalu. Saat sengit-sengitnya perang
dagang Amerika-Tiongkok. Dari situ bisa dibaca sikap India yang memihak
pada Amerika. Terutama ketika Amerika ingin menancapkan kembali
pengaruhnya di Asia –yang tergerus oleh Tiongkok.
Adalah
seorang ekonom India yang pertama-tama melontarkan istilah ”jebakan
utang Tiongkok” yang kemudian menjadi isu politik di negara
masing-masing.
Jepang
sebenarnya juga selalu punya masalah politik dengan Tiongkok. Itu soal
masa lalu yang kelam –terutama terkait pembantaian Nanjing.
Tapi,
Jepang punya kepentingan ekonomi yang besar dengan Tiongkok. Lewat
kesepakatan bersama di ercep itu, tidak perlu lagi ada negosiasi dua
negara. Perundingan dua negara sering dibumbui sentimen-sentimen ego.
Tapi, dengan kesepakatan multilateral, hambatan ego itu tidak muncul.
Maka,
hebat juga bahwa Jepang –yang secara konstitusi berada di bawah payung
Amerika– menandatangani perjanjian ercep ini. Mungkin karena toh
seminggu sebelumnya sudah mulai jelas bahwa Trump kalah.
Mungkin
juga kesepakatan itu menjadi lancar karena Covid-19. Semua negara kini
lagi menderita. Ekonomi lagi babak belur. Semua negara anggota ercep pun
berkomentar: kesepakatan ini bisa mempercepat penyembuhan ekonomi
akibat Covid.
Apalagi bagi Tiongkok yang sudah sembuh duluan. (Dahlan Iskan)
Posting Komentar