Selasa 24 November 2020
Oleh : Dahlan Iskan
KALAU disuruh pilih: McDonald atau pecel? Saya pilih pecel. Kalau pilihannya rawon atau pecel, saya masih pilih pecel.
Bagaimana kalau pilihan itu cap cay dan pecel? Saya pilih pecel.
Saya
ke pabrik pecel minggu lalu. Milik teman baru. Di Sidoarjo, Jatim.
Begitu sampai di lingkungan pabrik, sudah jelas saya tidak salah masuk:
aroma harum pecelnya sudah "kedengaran" di hidung saya.
Dua hal yang membuat saya kaget di pabrik ini.
Pertama,
pemilik pabrik itu asal Medan –ini benar-benar bikin malu orang Madiun
seperti saya (Orang Magetan suka mengaku sebagai orang Madiun –agar
lebih bergengsi. Terutama orang Magetan bagian timur yang memang lebih
dekat ke Madiun, seperti saya).
Kekagetan kedua, pecel zaman sekarang itu kacangnya ternyata impor!
Ini juga bikin malu orang seperti saya –kok masih mendukung pecel.
Untuk
para penggemar McDonald, saya harus memberi tahu: pecel itu juga
bersuku-suku. Ada pecel Madiun, pecel Blitar, dan pecel Kediri. Tapi
kota yang sampai disebut kota pecel hanyalah Madiun. Berarti, tahu
sendirilah apa artinya.
Di
Surabaya juga banyak yang jual pecel. Saya pun tahu warung pecel ''yang
paling Madiun'' di Surabaya. Tentu saya tetap pilih beli langsung dari
Madiun. Maka begitu stok pecel menipis, istri saya telepon ke desa asal
saya.
Selama ini
tenang-tenang saja: saya menganggap pecel itu makanan lokal, yang local
content-nya 100 persen. Ternyata salah. Saya agak menyesal ke pabrik
pecel kemarin. Sejak itu penggemar pecel seperti saya tidak boleh lagi
menuduh penggemar McDonald itu tidak nasionalistis.
Ternyata
saya juga makan barang impor. Bahkan impornya pakai sembunyi di balik
baju pecel. Tidak terang-terangan seperti McDonald. Saya pun waswas.
Jangan-jangan cabainya juga impor. Jangan-jangan daun jeruk purutnya
juga impor. Begitu juga asam Jawanya. Dan kencurnya. Dan garamnya. Dan
gula merahnya –itulah nama-nama bumbu pecel.
Alhamdulillah
cabainya ternyata masih dari Kediri. Daun jeruk purutnya masih dari
Tulungagung. Dan asam Jawanya masih dari Kupang, NTT. Harusnya orang NTT
protes kenapa asamnya masih disebut asam Jawa.
Hanya
gulanya yang harus hati-hati. Gula merah zaman sekarang ternyata sudah
banyak yang dibuat dari gula rafinasi –yang impor itu. Warna merahnya
hanya campuran. "Kalau yang saya pakai ini masih asli. Membelinya memang
harus hati-hati. Kalau yang merahnya cantik itu bahan bakunya gula
rafinasi," ujar pimpinan pabrik itu.
Produksi
pecel di pabrik tersebut mencapai 30 ton sebulan. Saya bangga. Ternyata
masih banyak yang suka pecel. Saya pun melihat sebuah tronton merapat
ke depan gudang. Tronton itu akan memuat pecel. Ups... Pecel kok
sebanyak satu tronton. "Itu jurusan Jakarta," ujar I Ketut Ciptawan
Wathin, penerus pemilik pabrik pecel itu.
Wathin
adalah anak Kho Kek Hui, orang Medan pendiri pabrik pecel itu. Kho
adalah orang yang merantau ke Surabaya untuk pertobatan hidup. Ternyata
tidak hanya bisa jadi orang baik. Bahkan bisa sukses. Kisahnya akan
dimuat secara bersambung di Harian Disway.
Kho (kanan) melayani wawancara Disway.
Waktu
kecil, pecel itu barang mewah bagi saya. Tidak mudah untuk bisa makan
pecel. Saya baru dibelikan pecel kalau habis sakit. Kadang saya sampai
pengin sakit agar dibelikan pecel.
Di
desa, zaman saya kecil, pecel itu untuk sarapan. Sesekali. Sebagai
selingan mewah dari makan pagi yang rutin: ketela rebus, ganyong rebus,
atau nasi sisa kemarin yang digoreng dengan minyak jelantah –minyak sisa
goreng ikan asin atau tempe.
Saya tidak membayangkan bahwa pecel zaman sekarang kacangnya impor: dari India atau bahkan Afrika.
Maka sekarang ini kalau lagi makan pecel rasanya serasa ikut makan devisa.
Pabrik
pecel seperti itu memang harus membeli kacang khusus. Yakni yang
bijinya sudah melupakan kulitnya. Itu disebut kacang ose.
Hampir
semua kacang ose yang ada di pasaran adalah barang impor. Produksi
kacang dalam negeri biasanya sudah habis diborong oleh pabrik kacang
--justru ketika baru dicabut dari tanah.
"Kami
harus segera mengolah kacang ketika masih segar. Ketika baru dipanen.
Jangan sampai lewat 28 jam," ujar Sudhamek, pemilik pabrik raksasa
kacang Garuda.
Itulah sebabnya pabrik-pabrik kacang Garuda harus di dekat basis produksi kacang tanah.
Orang
seperti Sudhamek tidak bisa impor kacang. Kualitas kacangnya bisa turun
selama perjalanan antar negara. Ia sepenuhnya mengandalkan produksi
dalam negeri.
Karena itu orang seperti Sudhamek termasuk yang gelisah atas menurunnya produksi kacang dalam negeri.
"Satu-satunya
jalan harus ada penanaman kacang secara korporasi," ujar Sudhamek, yang
pernah menjadi ketua bidang di Komite Ekonomi Nasional itu.
Dengan pertanian secara korporasi, produksi per hektare bisa mencapai 3 ton. Dua kali lipat dari sistem pertanian tradisional.
Dengan produksi 3 ton/hektare berarti bisa menghasilkan Rp 18 juta/ha. Ini barulah bisa bersaing dengan tanaman lain.
Tapi
mencari lahan untuk pertanian korporasi tidak mudah. Bahkan mustahil.
Untuk penggarapan secara korporasi diperlukan lahan 2.000 hektare.
Utuh. Dalam satu hamparan. 2.000 hektare itu paling tidak.
Luasan
itu disesuaikan dengan nilai ekonomi. Yakni agar sekalian dibuat pabrik
pengolahan kacang. Setidaknya sampai setengah jadi. Agar tidak terjadi
pembusukan.
Sudhamek
pernah mencoba di Lombok. Hanya mendapat 500 hektare. Padahal sudah
telanjur mendatangkan alat-alat berat. Akhirnya alat-alat berat itu
ditarik kembali.
Kenapa tidak dicoba di Lampung? Yang tanahnya luas?
"Sudah juga," ujar Sudhamek pada Disway. "Kami tidak berhasil mendapat tanah seluas itu," katanya.
Di
sana tanah memang luas, tapi sudah dimiliki oleh perorangan atau
perusahaan. Sebagai orang swasta Sudhamek tidak bisa memaksakan pemilik
tanah untuk pindah tanaman.
Di
Jateng, khususnya sekitar Pati, Kudus, dan Rembang, juga sangat baik
untuk tanam kacang. Sudhamek pernah dibantu seorang kiai besar di
kawasan itu. Agar bisa memperoleh lahan yang bisa dikerjakan secara
mekanisasi.
Nyatanya juga tidak berhasil.
Lalu
ada pemikiran baru: melirik lahan Perhutani. Yang secara data banyak
telantar. Tidak produktif. Yang secara statistik luasnya ratusan ribu
hektare. Bahkan jutaan hektare.
Tapi setelah dicoba, nyatanya hanya mendapat 200 hektare. Itu di Bojonegoro.
Pun
tetap dicoba. Berhasil. Bisa 3 ton/hektare. Tapi tidak bisa lagi lebih
luas dari itu. Dan tidak ekonomis untuk didirikan pabrik kacang di
dekatnya.
"Sebenarnya
berapa pun produksi kacang dalam negeri masih bisa diserap oleh pabrik
kacang seperti kami," ujar Sudhamek –yang juga ketua ''dewan syura''
Permabudhi (Persatuan Masyarakat Buddha Indonesia) itu.
Kesempatan
menyejahterakan petani lewat kacang tanah masih terbuka. Lihatlah harga
kacang di toko-toko: Rp 50.000/bungkus. Yang isinya tidak sampai 1 kg.
Padahal harga kacang hanya Rp 6.000/kg. Berarti kalau sejumlah petani
bergabung dalam suatu korporasi pasti hebat. Sekalian punya pabrik
pengolahnya. Agar harga Rp 6.000 itu bisa berlipat-lipat.
Tentu
sebenarnya bukan hanya kacang tanah yang penggarapannya sudah harus
beralih secara korporasi. Petani sudah harus bersatu dalam sebuah usaha
bersama. Sudah banyak yang menyadari itu. Tinggal siapa yang harus
memulai. Tempulu belum kapital besar yang kelak akan menggantikannya.
Saya pun menjadi sadar bahwa kebiasaan saya makan pecel ternyata ikut menghabiskan devisa.(Dahlan Iskan)
Posting Komentar