02 November 2020
Oleh : Dahlan Iskan
DI MANAKAH Rabu lusa nonton bareng hasil penghitungan suara pemilu Amerika Serikat?
Tentu dari rumah masing-masing. Sebelum Covid-19 saya selalu nonton bersama teman-teman. Baik saat di Indonesia maupun kalau kebetulan lagi di luar negeri.
Saya jadi ingat 35-an tahun lalu. Saat saya baru menjadi Pemred Jawa Pos. Saya diundang Kedutaan Besar Amerika untuk ke Jakarta. Acaranya: nonton bareng hasil penghitungan suara pemilu. Tempatnya: ballroom Hotel Borobudur Intercontinental.
Acara itu sudah dimulai pukul 7 pagi. Berarti pukul 7 malam di Washington DC. Banyak sekali TV yang dipasang di berbagai tempat di ballroom itu. Rupanya ratusan orang yang diundang ke acara itu. Kami menonton TV sambil berdiri. Boleh pindah-pindah tempat –toh TV-nya banyak sekali. Boleh pula sambil makan apa saja yang tersedia di ballroom itu.
Itulah untuk kali pertama saya menonton penghitungan suara pilpres Amerika. Waktu itu saya belum begitu paham cara penghitungannya. Yang menurut saya, waktu itu, ruwet sekali. Terutama bagi kita yang kala itu sudah terbiasa dengan pemilu yang selalu hanya diikuti tiga partai. Yang pemilihan presidennya dilakukan di MPR.
Tapi, itulah cara Amerika memperkenalkan sistem demokrasi kepada tokoh-tokoh Indonesia yang hidup di sistem totaliter. Terutama tokoh-tokoh muda dari berbagai bidang.
Selesai nobar, kami pun membicarakan asyiknya sistem demokrasi langsung seperti itu. Sambil secara bisik-bisik mengatakan "kapan Indonesia bisa seperti itu". Kami pun mencemooh sistem Orde Baru di bawah Pak Harto.
Sekian tahun kemudian ternyata kita meniru apa yang terjadi di Amerika itu. Tanpa menyangka bahwa kita ternyata tidak bisa meniru kejujurannya. Serangan fajar ternyata menjadi faktor terpenting dalam sistem demokrasi langsung di Indonesia. Mahar untuk partai ternyata juga mengikutinya.
Sama-sama demokrasinya, berbeda dalam praktiknya.
Setelah Indonesia menjadi negara demokrasi, rasanya tidak ada lagi undangan nonton bareng seperti itu. Atau karena saya kemudian bukan Pemred lagi. Undangan seperti itu biasanya memang hanya untuk Pemred.
Rabu pagi lusa saya akan nonton siaran langsung itu di rumah saja. Kalau saja tidak ada Covid-19, mungkin saya akan mengajak beberapa teman untuk nonton bareng. Lalu mendiskusikan hasilnya.
Siapa yang kali ini akan menang? Ternyata masih sangat bikin dag-dig-dug.
Dari segi janji pemilu, Presiden Donald Trump sudah terlihat sungguh-sungguh melaksanakannya.
Coba kita bahas lima janji terbesarnya saat kampanye: membangun tembok, memotong pajak, menciptakan 25 juta lapangan kerja, membatasi orang Islam masuk Amerika, dan membatalkan Obama Care.
Kita sudah tahu Trump begitu ngotot membangun tembok perbatasan. Memang ia terhambat untuk mendapat persetujuan DPR. Yang dikuasai oposisi itu. Tapi, kesulitan tersebut ia terobos dengan mengalihkan sebagian anggaran pertahanan.
Tarik-ulurnya dengan DPR begitu alot. Sampai Trump rela pemerintahan Amerika berhenti selama tiga minggu. Trump pun masih punya terobosan lain: lewat pengumpulan dana masyarakat.
Rakyat ia imbau untuk menyumbang bata. Satu bata senilai 100 dolar AS. Begitu banyak rakyat yang tergugah. Sekalian ingin mengejek DPR-nya.
Akhirnya Trump berhasil membangun hampir 600 km pagar perbatasan dengan Meksiko. Itu hampir sama dengan pagar antara Surabaya-Jakarta (ditarik lurus).
Memang yang benar-benar baru hanya 8 km. Selebihnya berupa peningkatan, penambahan, atau perbaikan dari pagar yang lama. Jumlah itu pun baru sekitar 25 persen dari panjang perbatasan yang totalnya hampir 2.000 km.
Trump perlu masa jabatan kedua untuk meneruskannya. Ia juga masih perlu waktu untuk menekan Meksiko agar membayar biaya tembok itu –seperti yang dijanjikannya di kampanye.
Di bidang pembatasan masuknya orang Islam ke Amerika, Trump benar-benar melaksanakannya. Lewat peraturan imigrasinya. Ia tidak menyebut kebijakan itu sebagai membatasi orang Islam, tapi membatasi orang dari negara-negara tertentu. Yang kebetulan penduduk mereka mayoritas Islam.
Pada kenyataannya, tidak hanya orang Islam dari negara tertentu yang dipersulit. Tapi, juga orang komunis dari Tiongkok. Amerika tidak lagi mudah mengeluarkan visa bagi orang Tiongkok yang anggota Partai Komunis. Teman-teman saya di Tiongkok mengalami itu –meski tidak ada masalah untuk istri mereka.
Dalam hal potong pajak, Trump dianggap sangat memenuhi janjinya. Baru setahun jadi presiden, Trump sudah berhasil menurunkan pajak secara drastis. Dari 35 persen menjadi 21 persen. Itu pemotongan pajak yang luar biasa. Bahkan, Trump pribadi sebenarnya ingin turun lagi menjadi hanya 19 persen.
Kalaupun lusa nanti Joe Biden kalah, terutama, menurut pendapat saya, karena faktor pajak ini. Biden akan menaikkannya. Memang tidak akan semua dinaikkan. Yang naik hanya golongan pendapatan tinggi. Tapi kesan umum jelas: Biden akan menaikkan pajak.
Rendahnya pajak di zaman Trump itulah yang membuat dolar kembali mengalir masuk ke Amerika. Sampai membuat beberapa negara kelabakan kekurangan dolar.
Selama Trump menjadi presiden, sebelum Covid, ekonomi Amerika benar-benar meroket. Pasar modalnya naik gila-gilaan. Nasiblah –tepatnya, Covid-lah– yang membuat nama Trump hancur.
Bagaimana janjinya menciptakan 25 juta lapangan kerja? Sebenarnya Trump juga sudah berhasil menciptakan 7 juta lapangan kerja baru. Jumlah pengangguran pun turun drastis sampai tinggal 3 persen.
Tapi, "langit" memutuskan lain: Trump diserang Covid-19. Pemerintahannya maupun dirinya sendiri. Ekonomi hancur. Pengangguran naik lagi menjadi 14 persen. Lapangan kerja yang tercipta mendadak hilang. Kebijakan penanganan Covid-nya yang sembrono lebih menghancurkan reputasinya.
Langit tidak memihak Trump.
Tapi, setidaknya Trump sudah melaksanakan janjinya. Kalau saja tidak ada Covid, 25 juta lapangan kerja baru itu bisa-bisa benar-benar tercipta.
Bagaimana dengan janji menghapus Obama Care?
Pun Trump tidak ogah-ogahan. Ia sungguh-sungguh akan mencabutnya. Lebih 16 kali Trump mengupayakan pencabutan itu. Tapi masih gagal. Terutama karena DPR dikuasai oposisi.
Namun, terlihat Trump tidak menyerah. Janji pemilu itu ingin ia laksanakan sungguh-sungguh. Hambatan dari DPR tidak ia jadikan kambing hitam. Terakhir Trump sampai menggugat ke Mahkamah Agung. Bahwa Obama Care itu melanggar konstitusi.
Sambil menunggu putusan Mahkamah Agung, Trump mengupayakan agar jabatan hakim agung yang kosong ia isi. Kini dari 9 hakim agung, 6 sudah di pihak Trump. Mereka itulah yang akan memutuskan nasib Obama Care.
Di Amerika jabatan hakim agung itu seumur hidup. Kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri atau meninggal dunia.
Intinya: rakyat tahu Trump bersungguh-sungguh dalam upaya melaksanakan semua janji kampanyenya.
Maka, kalau Trump Rabu lusa gagal untuk masa jabatan kedua itu, 100 persen karena Covid. Memang banyak juga yang benci Trump akibat kegilaannya. Tapi, bukankah orang Amerika itu banyak yang suka kegilaan?
Kan bisa dilihat dari larisnya jenis film Rambo dan sebangsanya.(Dahlan Iskan)
Posting Komentar