Jakarta, nusantarabicara.co - Menyikapi nasib ulama sekaligus pimpinan pondok pesantren yang dimasukkan ke dalam penjara, hanya karena sebuah ucapan atau kata-kata kritis.
Tim Advokasi Sugi Nur Raharja alias Gus Nur keberatan kliennya ditangkap dan langsung di tahan serta dijadikan tersangka oleh penyidik Ditsiber Bareskrim Mabes Polri, terhitung sejak tanggal 24 Oktober 2020. Hingga hari ini Gus Nur telah menjalani proses penahanan selama 30 hari tanpa kepastian mekanisme hukum yang jelas.
Berkenaan dengan hal itu, Tim Advokasi Gus Nur menggelar konfrensi Pers (26/11) dan memberikan beberapa pernyataan sebagai berikut :
1. Bahwa proses hukum terhadap Gus Nur adalah praktik kezaliman dan ketidakadilan yang nyata, dan menjadi bukti bahwa kriminalisasi terhadap ulama adalah fakta nyata bukan sekedar narasi atau opini. Proses hukum terhadap Gus Nut telah secara telanjang mempraktikkan arogansi kekuasaan dengan mengabaikan Hak Gus Nur untuk diperlakukan dengan asas prasangka tidak bersalah (presumption of innocent), asas persamaan dimuka hukum (equality before the law), asas tidak memihak (imparsial), asas kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum.
2. Gus Nur langsung ditangkap seperti penjahat dengan status sebagai tersangka, diduga kuat tanpa kecukupan dua alat bukti, tanpa pemeriksaan pendahuluan atas sejumlah saksi dan ahli sebagai pemeriksaan permulaan dari rangkaian pemeriksaan perkara pidana. Gus Nur tak diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah, tetapi diperlakukan langsung dengan status tersangka, dijemput paksa, dan langsung ditahan.
Sebagaimana diketahui, Saudara Refli Harun dalam kapasitasnya sebagai saksi terhadap kasus Gus Nur, baru diperiksa penyidik pada Selasa tanggal 3 November 2020. Sementara Gus Nur telah berstatus Tersangka sejak ditangkap tanggal 24 Oktober 2020.
3. Bahwa Gus Nur tidak diberlakukan sama dihadapan hukum seperti kasus yang menimpa dua jenderal polisi yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo yang melalui sejumlah pemeriksaan pendahuluan. Keduanya dalam situasi pandemi ini, tidak langsung ditahan sehubungan terlibat dalam kasus Red Notice Koruptor Djoko Tjandra, dan baru ditahan setelah berstatus Tersangka.
Semestinya, dengan alasan yang sama Gus Nur juga tidak langsung ditahan dan dilakukan pemeriksaan pendahuluan sebagai saksi bukan langsung dijemput paksa sebagai Tersangka dan ditahan. Mengingat, Kapolri Jend Pol Idham Azis telah memerintahkan kepada penyidik untuk mendukung upaya pemerintah menekan penyebaran pandemi Covid-19, dengan menetapkan kebijakan penahanan tersangka secara selektif.
Laporan Gus Nur di Polda Jawa Timur terkait adanya dugaan tindak pidana berdasarkan pasal 27 ayat (3) Jo pasal 45A ayat (3) dan/atau pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, hingga hari ini tidak diproses penyidik. Gus Nur melaporkan pemilik akun YouTube Macan Nusantara atau Gus Arya yang telah menghina dirinya. Laporan itu dilayangkan Gus Nur ke Polda Jatim sejak Kamis 5 September 2019 lalu.
Pada kasus lain, laporan terhadap Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar dll, tidak ditindaklanjuti oleh Polri dengan penangkapan, bahkan Deni Siregar hanya diundang untuk memberikan klarifikasi dan tidak hadir. Semestinya, atas asas persamaan dan kepastian hukum penyidik Polri juga menangkap dan menahan Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar dan yang lainnya.
Perbedaan perlakuan ini benar-benar telah mencederai marwah dan wibawa hukum dan aparat penegak hukum. Tindakan ini justru mengkonfirmasi adanya arogansi kekuasaan dalam penegakan hukum pada kasus Gus Nur.
4. Bahwa tindakan kepolisian secara nyata dan kasat mata mempraktikkan kebijakan hukum yang memihak (non imparsial) karena menolak permohonan penangguhan Gus Nur, sementara pada kasus kebakaran Gedung Kejaksaan Agung yang menimbulkan kerugian mencapai Rp 1,12 Triliun, Polri memberikan penangguhan penahanan terhadap tersangkanya atas adanya jaminan dari istri tersangka.
Padahal, permohonan penangguhan yang diajukan Gus Nur dijamin oleh para ulama, keluarga tokoh nasional dan anggota DPR RI. Namun kenyataannya, permohonan penangguhan Gus Nur diabaikan.
5. Bahwa proses hukum terhadap Gus Nur tidak menghormati asas kepastian hukum bagi Gus Nur. Sebagaimana dikabarkan media, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono pada tanggal 6 November 2020 mengatakan berkas perkara Gus Nur sudah masuk pada tahap finalisasi, sehingga dalam waktu dekat berkas akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan.
Namun faktanya, pada Jum'at 13 November 2020 penyidik Ditsiber Polri justru memperpanjang status penahanan hingga 40 hari berikutnya. Semestinya, jika berkas telah lengkap segera dilimpahkan kepada kejaksaan dan agar segera disidangkan. Bukan malah memperpanjang status penahanan yang zalim terhadap Gus Nur.
6. Bahwa hingga hari ini perkara Gus Nur belum disidangkan, belum ada keputusan hukum Gus Nur bersalah, sehingga Gus Nur wajib diperlakukan dengan asas praduga tidak bersalah dan harus diperlakukan secara adil dimuka hukum, tidak ada pembedaan perlakuan terhadapnya, mengingat pasal 28D ayat (1) UUD 45 tegas menyatakan :
_"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum"._
7. Bahwa jika proses hukum belum bisa dilimpahkan ke pengadilan, penyidik belum bisa melengkapi berkas, semestinya Gus Nur ditangguhkan penahanannya, atau jika tetap dalam status ditahan, penyidik dapat mengalihkan penahanan dari penahanan di rumah tahanan dialihkan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, sebagaimana surat permohonan pengalihan penahanan yang telah kami ajukan pada hari Rabu tanggal 15 November 2020.
Tindakan pengalihan penahanan ini juga penting selain sebagai bentuk menghormati asas keadilan dan menegakkan asas kepastian hukum, juga agar Gus Nur terjamin kesehatannya, mengingat sebagaimana telah dikabarkan media sebanyak 48 tahanan Bareskrim Polri dinyatakan positif terpapar virus corona (Covid-19).
Status tahanan rumah atau tahanan kota akan lebih menjamin kesehatan Gus Nur, ketimbang berada di sel tahanan Bareskrim Polri.
8. Bahwa adapun terkait materi hukum kasus Gus Nur, kami berkeyakinan Gus Nur tidak melakukan tindakan pencemaran dan/atau menyebarkan kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (3) Jo pasal 45A ayat (3) dan/atau pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Gus Nur dalam perkara tersebut, sesungguhnya sedang menjalankan hak konstitusional warga negara untuk menyatakan pendapat sekaligus sedang menjalankan aktivitas dakwah amar ma'ruf nahi mungkar.
Dimana menurut ketentuan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), menyatakan :
_"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."_
Dakwah amar ma'ruf nahi mungkar juga merupakan bagian dari ibadat dalam keyakinan akidah Islam. Hal ini sejalan dengan jaminan konstitusi pasal 29 ayat (2) yang menegaskan :
_"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."_
Demikian pernyataan disampaikan,
Jakarta, 26 November 2020,
Tim Advokasi Gus Nur
TTD
ACHMAD MICHDAN, S.H.
AHMAD KHOZINUDIN, S.H.
AZIS YANUAR, S.H.
NOVEL BAMUKMIN, SH
Dr. MUHAMMAD TAUFIK, SH MH
BUDI HARJO, S.H.I.
ANDRY ERMAWAN, SH
AGUNG SILO WIDODO BASUKI, SH, MH
DIMAS AULIA RAHMAN, SH
AMIRUL BAHRI, SH
ZAINAL FANDI, SH, MH
DADE PUJI HENDRO SUDOMO, SH
MUHAMMAD NUR RAKHMAD, S.H.
ZULHAIDIR, S.H.
SHODIKIN, S.H.
(*)
Posting Komentar