Senin 14 June 2021
Oleh : Dahlan Iskan
SAYA pun pernah dipaksa atasan saya. Dibentak. Dimarahi. Pada saatnya, saya juga pernah memaksa anak buah. Membentak. Memarahi.
Rupanya yang seperti itu terjadi kapan saja di zaman apa saja. Kalau paksaan itu membuat yang dipaksa berhasil jadilah kejengkelan dulu itu sebagai kenangan yang manis. Kadang malah bersejarah.
Itu pula yang dialami Mochtar Kusumaatmadja. Dipaksa, dibentak, dimarahi. Berhasil. Lalu membuat Mochtar menjadi profesor, doktor, ilmuwan, menteri, rektor, dan penanda sukses lainnya.
Mungkin Mochtar tidak akan dicatat sejarah sebagai pahlawan Indonesia kalau tidak pernah dibentak Chairul Saleh. Berkat bentakan itu, Mochtar dicatat sebagai pejuang yang membuat wilayah Indonesia bertambah dua kali lipat. Tanpa perang. Tanpa pertumpahan darah. (Disway 8 Juni 2021: Pahlawan Mochtar).
Di mata generasi seperti saya, nama Chairul Saleh itu buruk sekali. Kesannya ia sangat korup. Juga sebagai salah satu yang mengakibatkan ekonomi Indonesia runtuh di akhir Orde Lama.
Kesan itu mungkin akibat pers yang dikendalikan penguasa baru saat itu. Chairul ''hanyalah'' menteri Veteran. Tapi kekuasaannya memang besar. Ia disegani. Setelah itu, Chairul menjadi menteri energi. Terakhir sebagai menteri/Ketua MPR(S).
Di zaman saya sekolah, bahkan jasa Chairul Saleh di kemerdekaan Indonesia pun tidak pernah disebut. Padahal berkat militansi para pemuda seperti Chairul Saleh, Wikata, dan Sukarni, Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Merekalah yang memaksa Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan itu.
Padahal Bung Karno semula tidak mau. Bung Karno memilih menunggu janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Akhirnya Bung Karno diculik. Dibawa ke Rengasdenglok (Karawang). Di situ Bung Karno dipaksa memproklamasikan Indonesia.
Awalnya kelompok Chairul Saleh memang tidak memilih Bung Karno sebagai calon presiden pertama Indonesia. Begitu mendengar Jepang dibom oleh Amerika, kelompok pemuda itu sepakat meminta Amir Syarifuddin untuk menjadi presiden pertama. Mereka pun mencari di mana Amir. Tidak ketemu. Ada info Amir lagi di penjara di Lowokwaru, Malang. Pejuang berusaha membebaskan Amir secara paksa. Gagal.
Lantas mereka sepakat minta Sutan Syahrir saja yang menjadi presiden. Mereka mencari Syahrir. Ketemu. Tapi Syahrir tidak mau. Ia baru berumur 28 tahun saat itu. Syahrirlah yang mengusulkan agar Bung Karno saja yang menjadi presiden.
Ternyata Chairul lah yang memaksa Mochtar untuk menemukan cara: agar laut-laut di antara pulau di Indonesia menjadi laut pedalaman. Artinya: laut itu menjadi bagian wilayah Indonesia.
Waktu itu, tahun 1957, Mochtar masih sebagai pegawai biasa di biro perdagangan devisa. Tapi ahli hukum laut. Ia baru dua tahun pulang dari kuliah master hukum di Yale University.
"Mana ini, hasil panitia kok belum ada? Lambat betul kerjanya” kata Chairul.
Kisah itu sangat terkenal. Dimuat di mana-mana. Termasuk ditulis MF Mukthi dari testimoni Mochtar berjudul Sekelumit Pengalaman Bersama Bung Chairul Saleh. Itu dimuat di buku Chairul Saleh Tokoh Kontroversial.
Mochtar memang anggota Panitia Rancangan UU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim. Yang dibentuk di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo di tahun 1956.
Berarti sudah setahun panitia belum berhasil membuat rumusan. Bahkan Ali sendiri sudah turun dari jabatan perdana menteri.
UU baru tersebut dimaksudkan untuk mengganti Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie yang diterapkan sejak masa kolonial.
Chairul mencari Mochtar. ”Ini bagaimana? Kapal perang Belanda kok masih mondar-mandir saja di Laut Jawa. Ini Laut Jawa apa tidak bisa dijadikan laut pedalaman?” kata Chairul.
"Tidak bisa," jawab Mochtar.
Chairul pun marah.
”Pokoknya bikin supaya bisa. Jangan bilang tidak bisa!” sergah Chairul.
”Wah, ini bertentangan dengan hukum internasional," ujar Mochtar.
”Kamu ini masih muda. Ngomongnya tidak revolusioner," ujar Chairul. "Kalau dulu waktu proklamasi kita mendengarkan orang-orang yang terlalu yuridis, proklamasi juga tidak jadi. Kamu harus mengubah cara berpikir. Pokoknya mesti bisa!” kata Chairul.
Mochtar terlecut oleh ”paksaan” Chairul itu. Ia minta cuti 2 minggu. Ia pergi ke Bandung. Ia selesaikan konsep itu di masa cutinya itu.
Bulan berikutnya, Desember 1957, konsep Mochtar itu dipaparkan di sidang kabinet. Yang memimpin sidang Perdana Menteri Juanda.
Sebelum masuk ruang sidang Chairul mencari Mochtar. ”Dalam konsep itu nanti yang diukur dari pantai berapa meter? ” tanya Chairul.
”12 mil laut,” jawab Mochtar.
”Bikin 17 mil. Angka 17 itu keramat, 17 Agustus, ” tukas Chairul.
Rupanya orang seperti Chairul tetap saja radikal. Ketika deklarasi penguasaan laut itu diumumkan, negara-negara Barat protes. Mulai dari Amerika sampai Australia. Saat itu Belanda memang belum mengakui kemerdekaan Indonesia.
”Mereka protes? Kalau negara-negara imperialis itu protes berarti kita di jalan yang benar, ” ujar Chairul enteng.
Waktu itu Chairul berumur 40 tahun. Mochtar baru berumur 27 tahun. Tapi ia sudah bisa menyikapi tekanan, paksaan, kemarahan, dan bentakan dengan begitu positifnya.
Chairul meninggal di umur 50 tahun, tidak lama setelah dianggap terlibat G30S/PKI. Ia adalah Ketua umum Partai Murba, yang dikenal sebagai partai kiri.
Mochtar meninggal minggu lalu di umur 92 tahun. (Dahlan Iskan)
Posting Komentar