Jakarta, Nusantara Bicara - Memang masalah tanah sudah sejak lama ada, dan hingga kini belum bisa terselaikan.
Sultan Samudera Pasai Aceh Sultan Malik Teuku Haji Badruddin Syah Samudera Pasai Zhillulah Filalam saat di temui media usai berjumpa KSP (Kantor Staff Presiden) mengatakan usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor Jawa Barat pada tahun 2018 dan usai simposium beberapa bulan yang lalu di hotel Grand Cempaka.
"Berharap KSP menindak lanjuti pertemuan tersebut dan tadi berjumpa dengan DR Ali Mucthar Ngabalin , ada 4 hal antara lain soal swapraja yang belum ada kejelasan. Kesultanan, Kerajaan, Plesiir dan Keraton mempertanyakan hal tersebut, hanya Yogyakarta saja yang sudah selesai, " tandasnya.
Seperti Sultan Aji dari Penajam Paser Utara yang wilayahnya menjadi Ibu Kota Nusantara, Ada 1000 ha tanahnya yang di pergunakan, walaupun ijin HPH (Hak Penggunaan Hutan) sudah di cabut pemerintah sejak tahun 1960,tetapi Belanda saja masih mengakui melalui surat Verponding.
"Berdasarkan PP 18/2021, kami masih menunggu Juknis (petunjuk teknis) agar kementerian terkait dapat melaksanakan, Kemudian meretorasi Kerajaaan / Kesultanan agar masyarakat tahu, "katanya Senin (25/7) di hotel Grand Cempaka.
Bahwa hanya di era pemerintahan Presiden Jokowi yang berani mengelusrakan PP 18/2021.
Dahulu Aceh adalah propinsi modal seperti beli senjata membeli pesawat bahkan emas di monas juga sumbangan dari mayarakat Aceh namum kini Aceh sebagai propinsi miskin di Sumatera.
Bila Kerajaan dapat diretorasi sebagai indentitas budaya, sejarah dan adat optimis kesejahteraan masyarakat meningkat, Tidak seperti partai politik yang hanya mementingkan golongan atau kelompoknya saja, sebab setiap 5 tahun berganti ini mempengaruhi kebijakan.
"Semoga dengan pertemuan dengan pak Ngabalin dan Moeldoko yang baik semoga dapat di sampaikan ke Presiden agar ada solusi, " tambahnya.
Agar para pemangku adat Kerajaan / Kesultanan dapat memberikan keseimbangan bukan malah dipinggirkan bahkan dimiskinkan.(Agus)
Posting Komentar