Jakarta, Nusantara Bicara - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebagai lembaga yang sangat matang dari sisi usia sejak pembentukannya tahun 1948, dan lembaga yang sangat kuat dari sisi dasar hukum pembentukannya yakni dengan Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 dan Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Kini eksistensinya menuai polemik di kalangan publik. Polemik tersebut disebabkan oleh proses seleksi dan pengisian keanggoataan BPK yang dianggap tidak kredibel dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di dalamnya. Baru-baru ini, Selasa tanggal 20 September 2022, Komisi XI DPR RI telah memilih Ahmadi Noor Supit sebagai Anggota BPK RI menggantikan Hary Azhar Aziz yang meninggal dunia pada Desember 2021 lalu.
"Terpilihnya Ahmadi Noor Supit tersebut ditanggapi negatif oleh publik karena yang bersangkutan diketahui merupakan salah satu anggota partai politik pada saat mendaftar. Keterpilihan anggota partai politik sebagai anggota BPK tentu berpotensi menimbulkan hadirnya konflik kepentingan, yang mana konflik kepentingan," ungkap Deni Iskandar selaku Direktur Eksekutif ISPI saat jumpa pers, Rabu (21/9/2022) di 1947 Cafe, Matraman, Jakarta Timur.
Menurutnya, hal ini bertentangan dengan Pasal 2 UU BPK yang menyatakan ‘’BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara’’.
UU BPK Pasal 28 Poin e menyatakan, salah satu larangan bagi anggota BPK ialah menjadi anggota Partai Politik. 5 (lima) poin larangan dalam pasal tersebut merupakan konstruksi satu kesatuan, namun spesifik disebut soal larangan keanggotaan partai politik.
Selain itu dalam konsideran menimbang UU BPK menyatakan ‘’bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme’’.
Menurut Ketua bidang hukum ISPI, Bab IV tentang Pemilihan dan Pemberhentian Pasal 13 UU BPK memang tidak secara eksplisit disebut larangan bagi anggota partai poltik untuk mendaftar sebagai calon anggota BPK, namun klausul dalam konsideran menimbang,
Pasal 2 dan Pasal 28 UU BPK mestinya dapat dijadikan dasar bagi pengambil keputusan DPR RI dan Presiden dalam memilih dan menetapkan anggota BPK RI, sebab menjaga BPK RI sebagai lembaga yang mandiri dan bebas merupakan hal uatama dalam UU tersebut.
Sebagai lembaga yang oleh UUD dan UU disebut secara terus menerus sebagai lembaga yang bebas, mandiri dan profesonal, mestinya BPK betul-betul bersih dari anasir kepentingan politik praktis apapun. Kehadiran anasir politik praktis dalam keanggotaan BPK akan menegasikan kelembagaan BPK yang merupakan lembaga penjaga kredibilitas dan akutabilitas lembaga negara dan badan lainnya di bidang keuangan tersebut.
Eksistensi BPK RI yang dijaga dari anasir politik praktis mestinya sama dengan pengaturan seleksi di lembaga maupun badan lainnya yang melarang menjadi anggota partai politik, seperti menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK), atau badan-badan lainnya seperti syarat pengangkatan mnejadi direksi atau pengawas di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), bahkan saat ini terdapat larangan untuk menjadi Direksi BUMN dari pengurus partai politik. Lalu kenapa BPK RI dikecualikan dalam larangan ini?
" Oleh karena itu DPR harus membatalkan pengangkatan ketua BPK," jelasnya.
Diisinya oleh anasir kepentingan politik praktis dalam keanggotaan BPK tentu sangat melukai hati rakyat Indonesia, apalagi proses pemilihan Ahmadi Noor Supit sebagai Anggota BPK RI oleh Komisi XI DPR RI dianggap minim partisipasi publik.
Oleh karena demikian, INDONESIAN OF SOCIAL POLITICAL INSTITUTE dalam kesempatan ini meminta agar hal-hal sebagai berikut:
PERTAMA, Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) meninjau kembali keputusan memilih Ahmadi Noor Supit sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), dengan tidak menetapkan di Rapat Paripurna DPR RI.
KEDUA, Meminta Presiden agar tidak melantik Ahmadi Noor Supit menjadi Anggota BPK RI karena berpotensi menimbulkan masalah hukum baru dikemudian hari dan melanggar etika bernegara, serta minim partisipasi publik.
KETIGA, Meminta DPR RI dan Pemerintah untuk segera merevisi UU BPK agar mengatur secara jelas larangan bagi anggota Partai Politk untuk mendaftar dalam seleksi anggota BPK RI.(Agus)
Posting Komentar