Nusantara Bicara, Jakarta --- Dr. Joko Ismuhadi, SE, MM, berhasil meraih gelar Doktor dari Universitas Borobudur, Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur, Selasa, 13/2/2024.
Ditemui awak media Dr. Joko Ismuhadi, SE, MM, mengatakan tentang pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang.
“Saya bicara tentang tindak pidana perpajakan sekaligus tindak pidana pencucian uang, saya sebagai Promovendus nanti mengusulkan agar penanganannya dilakukan penuntutan secara bersamaan karena itu sifatnya "delik berantai", jadi tidak perlu menunggu tindak pidana pajak (Tipijak) nya itu bisa dibuktikan langsung saja digabungkan dengan TPPU, bisa dilakukan secara bersamaan, secara simultan dibarengi dengan "freze" atau pembekuan dari aset-aset terdakwa,” katanya dengan ramah.
Yang lazim di Direktorat Jenderal Pajak sudah dilakukan, sambungnya, kalau memang kasusnya terbukti dan Inkracht (Eksekusi Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap) dan secepatnya bisa dilakukan penyitaan aset- asetnya.
“Sehingga kerugian pendapatan negara secepatnya bisa di recovery jadi asetnya tidak hilang, atau tidak menguap jadi secepatnya bisa dipulihkan kerugian negaranya, itu yang pertama. Yang kedua, saya mengusulkan kepada otoritas agar ketentuan Pasal 38 dan Pasal 39 yang berisi frase "merugikan pendapatan negara" bisa dikaji ulang karena apapun yang dilakukan wajib pajak, baik alpa (culpa) atau disengaja (dolus) yang dapat merugikan pendapatan negara bisa ditafsirkan sebagai delik korupsi, delik tipikor Berat ini pertanggung-jawabanya, bayangkan kita alpa ataupun sengaja, dalam hal ini alpa misalnya tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP sehingga dapat merugikan pendapatan negara, dapat dianggap korupsi. Pajak itu sejatinya masuk rumpun administrasi,” bebernya.
Jadi kalau tujuan negara, tambahnya, kalau sudah tercapai tidak perlu masuk ranah pidana atau dikriminalisasi. Pidana sejatinya upaya terakhir yang disebut Ultimum Remedium, saya tidak setuju dengan hal itu, jangan sampai pembayar pajak atau tax payer di pidana, bayar saja pajaknya kalau ada kurang ya didenda kalau memang nyata-nyata itu bukan penghindaran tetapi kalau itu penggelapan pajak lakukan saja dendanya, 400%. Dalam Pasal 44C UU KUP itu secara tersirat tidak tersurat menyatakan bahwa hukumannya yang dalam bentuk primer adalah denda, hukuman subsider adalah kurungan apabila ada denda yang kurang dibayar,” urainya.
Jadi sejatinya tersirat bukan tersurat, seharusnya di penjelasan Padal 44C, UU KUP dijelaskan sambungnya, bahwa sejatinya pasal ini bisa diterapkan untuk tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi. Kenapa saya tertarik bahas tentang korporasi? karena korporasi ini hanya file-file saja atau alat saja organ ini ada "by law" ada karena hukum. Kalau dari awal korporasi ini didirikan diniatkan untuk melakukan suatu kejahatan, bisa menjadi sangat jahat, dibandingkan orang per orang yang melakukan kejahatan, karena dia tidak punya jiwa tidak punya perasaan.
“Makanya ke depan saya minta, pidana korporasi ini bisa diterapkan di ketentuan perpajakan Indonesia. Di daerah Anglo Saxon sana, negara asalnya, dikenal sebagai Corporate Criminal Liability, tanggung jawab pidanya dibebankan kepada korporasu, memang hukumanya itu alternatif atau pilihan, kamu mau bayar (pajak) atau dipidana?,” imbuhnya.
“Pertanyaannya apabila korporasi tidak bisa dipidana, tapi tetap bisa nanti dilakukan beban pidananya kepada orang nya (Vicariuos Luability), pemilik perusahaan, ada teori indentifikasi yaitu bahwa siapa sejatinya yang ambil peran, ambil keputusan dalam manajemen itu, sehingga terjadinya tindak pidana dalam perpajakan. Tindak pidana perpajakan ini, pasti tanpa sadar atau sadar, akan melangkah tindak pidana berikutnya yaitu TPPU, kenapa begitu? Karena TPPU itu tidak bisa berdiri sendiri harus ada pidana asalnya, begitu dia menggelapkan pajak, tanpa sadar dia menyimpan uangnya di bank itu sudah masuk tahap pertama fase "money laundering" yaitu penempatan (placement), setelah itu dimanfaatkan untuk investasi segala macam itu masuk siklus atau fase kedua yaitu Layering atau Soaping, mengaburkan asal-usul duitnya dari mana. Soaping membersihkan di sabun di cuci bersih uangnya, baru diproses berikutnya tanpa sadar masuk ke fase ketiga yaitu Integrating,” tuturnya.
Integrating, uang yang telah bersih kembali disimpan di sistem keuangan yang sah. Pertanyaanya kapan tindak pidana ini berhenti, karena ini terus berulang begitu fase ketiga kembali lagi ke fase satu, kapan berhenti?. Berhenti manakala aparat penegak hukum mampu mengendus ada tindak pidananya, mereka sudah mulai "aware" ada sesuatu kejahatan yang tidak boleh dilakukan.
“OJK adalah Finansial Intellijent Unit (FIU), dia bukan eksekutor, dia hanya penyedia data saja, saya rasa OJK pubya banyak datanya yang siap disampaikan kepada APH, Aparat Penegak Hukum, penyidik pajak atau kepolisian, kejaksaan dan seterusnya, siap datanya. Ke depannya Government atau Pemerintah, otoritas memberikan sesuatu aturan yang lebih jelas bahwa secara eksplisit, bahwa suatu tindak pidana bisa dilakukan oleh korporasi karena dalam perpajakan itu bunyinya "setiap orang" dimaknai sebagai orang pribadi atau korporasi, itu sudah tegas tidak perlu ada keraguan lagi, selama ini khan ada keraguan, misalnya dalam keputusan, ya sebut saja kasus Asian Agri yang dikurung itu orangnya, manajemenya, yaitu Suwir Laut, yang dianggap orang yang bertanggung jawab,” imbuhnya.
“Sedangkan dendanya dimintakan ke korporasi. Sejatinya ini yang perlu bertanggung jawab pidananya ini orang pribadi atau korporasi? Kedepan saya rasa pembayar pajak (tax payer) itu cukup bayar pajaknya kalau ada kurang, denda terapkan, kalau memang nyata-nyata melakukan penghindaran atau bahkan penggelapan pajak, ya sudahlah kenakan saja dendanya 400%. Karena di pasal 44C itu secara tersurat hukumanya secara primer itu denda, hukuman subsider itu adalah kurungan bila kurang dibayar. Memang mengungkap atau mengendus kejahatan korporasi (White Collar Crime) ini sulit, karena dilakukan orang-oran terdidik, orang-orang pintar, namun jalan terjal harus dilalui demi satu, demi apa demi Direktorat Jenderal Pajak, membela 250 juta rakyat Indonesia karena memang pajak nanti buat bayar gaji tentara, bayar gaji polisi, bayar gaji guru, untuk subsidi minyak, semua itu dari situ, dari pajak. Kenapa pajak itu dihindari? memang karena membayar pajak itu tidak enak, membayar pajak, tidak nyaman maka dihindari maka dilawan karena tidak bisa dirasakan secara langsung. Saya mengharapkan ke depan terbentuk generasi sadar pajak, DNA nya sebagai generasi yang sadar akan pentingnya pajak,” pungkasnya.(Agus)
Posting Komentar